Minggu, 11 Maret 2012

http://sholawat.blogdetik.com/category/mencintai-rasulullah/

Cinta Ahlul Bait

Allahumma sholli alaa sayyidina muhammad wa aalihi washohbihi wassalim

Kyai Kholil Bangkalan (3)

January 18th, 2009 by syafii

LATAR BELAKANG KELUARGA

DAN RIWAYAT HIDUP

SYEKH KHOLIL

MENGENAL SYEKH KHOLIL

Di desa Langgundih, Keramat, Bangkalan, adalah seorang Kiai berbangsa Sayyid bernama Asror bin Abdullah bin Ali Al-Akbar bin Sulaiman Basyaiban. Ibu Sayyid Sulaiman adalah Syarifah Khadijah binti Hasanuddin bin Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Beliau dikenal dengan âKiai Asror Keramatâ, dinisbatkan pada kampung beliau. Kemudian oleh sebagian orang dirubah menjadi âAsror Karomahâ, mungkin dalam rangka meng-arab-kan kalimat âKeramatâ. Beliau menurunkan ulama-ulama besar Madura dan Jawa.

Kiai Asror memiliki putra dan putri. Diantara mereka adalah Kiai Khotim, ayah dari Kiai Nur Hasan pendiri Pesantren Sidogiri Pasuruan. Diantara mereka pula adalah dua orang putri yang sampai kini belum diketahui nama aslinya melalui riwayat yang shahih. Salah seorang dari mereka dinikahkan dengan Kiai Hamim bin Abdul Karim Azmatkhan yang bernasab pada Sunan Kudus (garis laki-laki) dan Sunan Cendana (garis perempuan).

Melalui Kiai Abbas, Kiai Asror memiliki cucu bernama Kiai Kaffal. Dan melalui Kiai Hamim, beliau memiliki cucu bernama Kiai Abdul Lathif. Kiai Abdul Lathif memiliki putri bernama Nyai Maryam dan Nyai Saâdiyah. Kemudian Nyai Maryam dinikahkan dengan Kiai Kaffal dan Nyai Saâdiyah dinikahkan dengan seorang Kiai dari Socah, Bangkalan.

Kiai Abdul Lathif adalah seorang daâi keliling. Beliau menjalani kehidupan sufi yang tidak menghiraukan hal-hal keduniaan. Apalagi sepeninggal istri beliau, Ummu Maryam (ibu Nyai Maryam), sejak saat itu beliau lebih aktif daâwah ke kampung-kampung, beliaupun jarang pulang ke rumah karena putri-putri beliau telah bersuami dan telah mandiri.

Pada suatu hari, setelah beberapa tahun Kiai Abdul Lathif tidak pulang ke rumah, tiba-tiba beliau datang dengan membawa seorang anak laki-laki kira-kira berumur tujuh tahunan. Kiyai Abdul Lathif berkata pada Nyai Maryam: â Wahai Maryam, Aku telah menikah lagi dan ini adalah adikmu. Kutinggalkan ia bersama kalian, didiklah dia sebagaimana aku mendidikmu.â Setelah itu Kiyai Abdul Lathif pergi lagi sebagaimana biasa. Tidak ada yang tahu kapan persisnya kejadian itu, sebagaimana tidak ada yang tahu kapan persisnya Kiai Kholil di lahirkan. Sebagian sesepuh keturunan Syeh Kholil ada yang memperkirakan bahwa Syeh Kholil lahir pada tahun 1252 H, atau sekitar tahun 1835 M.

Cerita ini mengingatkan kita pada cerita Nabi Ibrahim AS. Bagaimana beliau harus meninggalkan Ismaâil, putra beliau yang masih bayi, di sebuah lembah yang gersang (Makkah), sementara beliau harus pergi jauh ke Palestina untuk menjalankan tugas daâwah. Siapa yang tidak sedih menyimak cerita ini, seorang ayah yang bersabar meninggalkan anaknya yang masih kecil, padahal betapa menyenangkannya memeluk, menatap dan bercanda dengan anak seusia Kholil kecil saat itu. Demikian pula dengan Nyai Maryam, sebenarnya beliau sangat sedih ditinggal oleh sang ayah. Di usia ayah yang mulai senja, inginnya hati Nyai Maryam merawat sang ayah, mestinya sang ayah sudah waktunya istirahat. Namun Nyai Maryam sadar, bhwa keluarga mereka adalah keluarga pengabdi pada agama, tidak ada istirahat untuk berdaâwah sampai ajalpun tiba, istirahat mereka adalah di peraduan abadi bersama para leluhur mereka.

Menurut sebagian riwayat, sejak saat itu Kiai Abdul Lathif tidak pernah pulang lagi, maka hari itu adalah hari terakhir beliau melihat Nyai Maryam dan putra sulung beliau itu. [*]

PENDIDIKAN

Nyai Maryam bersama sang suami, Kiai Kaffal, mulai merawat dan mendidik Kholil kecil. Mengajarinya membaca Al-qurâan dan ilmu-ilmu dasar agama. Melihat kecerdasan dan bakat Kholil kecil, Kiai Kaffal dan Nyai Maryam berpikir untuk memondokkannya ke sebuah pesantren, agar Kholil kecil dapat menimba ilmu dan terdidik lebih serius. Maka mereka pun memilih pesantren Bunga, Gersik, yang diasuh oleh Kiai Sholeh itu.

Tidak beberapa lama kemudian setelah Kholil kecil mondok di Bunga, terjadilah suatu peristiwa yang aneh. Ceritanya, suatu ketika Kiai Sholeh pulang dari kondangan dalam keadaan lapar. Karena sudah waktunya shalat, maka beliaupun meninggalkan bakul âberkatâ (makanan oleh-oleh kenduren) diatas sebuah meja dan bermaksud memakannya seusai shalat. Kiai Sholeh kemudian mengimami shalat di musholla pesantren bersama santri-santri beliau. Ketika sedang shalat itu, tiba-tiba ada suara anak-anak tertawa cekikian di belakang Kiai Sholeh. Setelah shalat selesai, Kiai Sholeh bertanya dengan nada marah âSiapa yang tertawa tadi?â Maka berkatalah salah seorang santri: âIni, Kiai, bocah dari Madura ini yang tertawa.â Setelah selesai dzikir, Kiai Sholeh memanggil bocah Madura yang tidak lain adalah Kholil kecil itu. Kiaipun memerahinya dan memukul kakinya dengan tidak terlalu keras seraya berkata: âJangan ulangi lagi, ya?! Kalau waktu shalat jangan bergurau!â. Maka Kholil kecilpun berkata: âTapi, Kiai, saya tidak bergurau, kok. Saya tertawa karena saya melihat Kiai shalat sambil berjoget dan di kepala Kiai ada bakul nasinya.â Mendengar kata-kata Kholil kecil itu, Kiai Sholeh menjadi terkejut dan heran, beliau teringat bahwa ketika sedang shalat tadi beliau memang sedang memikirkan nasi berkat, beliau sempat hawatir karena lupa tidak menitipkan nasi berkat itu, beliau hawatir nasi itu ada yang memakannya, karena beliau sedang sangat lapar dan di rumah beliau tidak ada makanan lagi selain nasi berkat itu. Menyadari hal aneh itu, Kiai Sholeh yakin bahwa Kholil kecil bukanlah anak sembarangan. Keesokan harinya, Kiai Sholeh mengajak beberapa santri pergi ke Bangkalan untuk Menemui Kiai Kaffal. Setibanya di rumah Kiai Kaffal, Kiai Sholeh langsung berbicara mengenai Kholil kecil.

âKiai Kaffal, sebenarnya Kholil ini anak siapa?â Tanya Kiai Sholeh.

âDia anak mertua saya, yaitu Kiai Abdul Lathif. Jadi dia adik ipar saya, saudara istri saya dari lain ibu.â Jawab Kiai Kaffal.

âLalu di mana Kiai Abdul Lathif sekarang?â

âTidak tahu, Kiai, beliau memang jarang pulang, beliau suka keliling ke kampung-kampung untuk berdaâwah. Beliau menyerahkan Kholil kepada kami.â

âKiai Kaffal, Kholil itu adalah anak yang luar biasa. Saya rasa, saya kurang pas untuk mendidik dia. Cari saja Kiai lain yang lebih mumpuni dari saya.â

Demikianlah inti pembicaran Kiai Sholeh dengan Kiai Kaffal. Maka Kiai Kaffal pun menjemput Kholil kecil dari Bunga. Tidak beberapa lama kemudian Syekh Kholil dimondokkan di Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan, yang di asuh oleh Kiai Asyik.

Beberapa tahun kemudian, Kholilpun sudah menginjak remaja dan ia pindah ke Pesantren Kebon Candi Pasuruan yang diasuh oleh Kiai Arif. Kholil muda belajar dan tinggal di Pesantren Kebon Candi, namun sambil belajar pada Kiai Nur Hasan Sidogiri. Setiap berangkat ke Sidogiri, beliau jalan kaki dari Kebon Candi yang berjarak kurang lebih tujuh kilo meter. Dalam Perjalanan, baik pergi maupun pulangnya, beliau membaca yasin empat puluh kali.

Tiga Pesantren itu adalah tempat-tempat belajar Syekh Kholil yang diriwayatkan dengan akurat dan shahih. Selain itu, ada beberapa riwayat bahwa beliau juga pernah mondok di dua tempat lain, yaitu Pesantren Langitan dan Pesantren Banyuwangi. Namun Menurut Kiai Kholil bin Abdul Lathif bin Muhammad Thoha bin Kaffal, sebagaimana yang dituturkan Kiai Thoha Kholili, dua Pesantren itu tidak dikenal oleh beliau sebagai tempat belajar Syekh Kholil. Waalahu aâlam.

Sejak kecil, sering terjadi hal-hal yang aneh pada Syekh Kholil. Sebenarnya Nyai Maryam sudah sering melihat hal-hal aneh Syekh Kholil sejak beliau baru diserahkan oleh Kiai Abdul Latif, namun Nyai Maryam tidak segera menceritakan hal-hal aneh itu pada Kiai Kaffal. Setelah sering terjadi dan Nyai Maryam hawatir terjadi apa-apa pada Kholil kecil, akhirnya Nyai Maryam bercerita juga pada Kiai Kaffal, namun Kiai Kaffal justru menganggap hal itu sebagai pertanda baik bagi Kholil kecil. Sampai usia remaja, hal-hal aneh sering terjadi pada Syekh Kholil, baik di rumah maupun di pesantern.

Selama di Pesantren, Syekh Kholil terkenal sebagai santri yang rajin dan sabar. Beliau menjalani hidup yang memprihatinkan, karena memang beliau nyantri dengan hidup mandiri, tanpa ada yang membiayai. Karena beliau banyak memanfaatkan waktu untuk belajar, beliaupun tidak sempat bekerja cukup untuk mendapat makanan yang layak, dan akibatnya beliau harus makan makanan yang sangat tidak layak, seperti makanan sisa, makanan basi yang telah dijemur, kulit semangka dan sebagainya. Sebenarnya, hidup seperti itu tidak memprihatinkan buat Syekh Kholil, karena beliau memiliki kebanggaan dan kenikmatan lain melebihi makanan lezat dan hidup mewah, yaitu kenikmatan dan kebanggaan menuntut ilmu. Maka dari itu, walaupun beliau menjalani hidup yang memprihatinkan menurut orang lain, namun tidaklah memprihatinkan menurut beliau sendiri, wajah beliau tidak kalah bersahaja dari pada teman-teman beliau yang hidupnya cukup atau berkecukupan.

Setelah cukup dewasa, Syekh Kholil bermaksud melanjutkan belajar ke Makkah Al-Mukarramah.

Dalam buku âSurat kepada Anjing Hitamâ, Saifur Rachman menulis bahwa sebelum belajar di Makkah, Syekh Kholil belajar di Pesantren Banyuwangi. Saifur Rachman Berkata: âInilah Pesantren Kiai Kholil yang ditempuh di Jawa. Selama di Pesantren ini Kholil santri mempunyai kisah tersendiri. Pengasuh Pesantren ini mempunyai kebun kalapa yang sangat luas. Kholil santri menjadi buruh memetik kelapa dengan upah 80 pohon mendapat tiga sen. Semua hasil memetik kelapa disimpan didalam peti, lalu di persembahkan pada Kiai. Tentang biaya makan sehari-hari, Kholil santri menjalani kehidupan prihatin. Terkadang menjadi pembantu (khaddam) Kiai, mengisi bak mandi, mencuci pakaian dan piring serta pekerjaan lainnya. Bahkan Kholil santri sering menjadi juru masak kebutuhan teman-temannya. Dari kehidupan prihatin itu Kholil santri mendapat makan cuma-cuma. Sesudah cukup di Pesantren itu, gurunya menganjurkan Kholil untuk melanjutkan belajarnya ke Makkah. Uang dalam peti yang dahulu dihaturkan kepada Kiai, kemudian oleh Kiai diserahkan kembali pada Kholil sebagai bekal belajar di Makkah.â[1]

Riwayat ini sebenarnya tidak dikenal oleh sesepuh keturunan Syekh Kholil sendiri. Namun hal itu masih dalam kategori âmungkinâ. Kalau riwayat ini benar, maka riwayat ini bisa disambung dengan riwayat keluarga Syekh Kholil, bahwa pada suatu hari Syekh Kholil pulang menemui Nyai Maryam, tiba-tiba Syekh Kholil Berkata: â Kak, saya mau pamit berangkat ke Makkah.â

âMau berangkat kapan, âLil?â Tanya Nyai Maryam.

âSore ini, kak.â Jawab Syekh Kholil singkat.

Sebenarnya ini suatu hal yang aneh, karena setahu Nyai Maryam, Syekh Kholil tidak punya uang banyak untuk bisa ke Makkah, apalagi dengan mendadak seperti itu. Namun Nyai Maryam sudah biasa mendapati hal yang aneh-aneh dari sang adik, maka Nyai Maryampun percaya saja dan tidak menganggap hal itu sebagai hal yang aneh. Maka Nyai Maryampun berkata: âKalau begitu tunggu aku masak nasi dulu, ya, âLil. Kamu makan dulu sebelum berangkat.â Syekh Kholilpun menunggu sang kakak memasak. Setelah makanan siap, Syekh Kholilpun makan dan kemudian pamit berangkat ke Makkah. Menurut penuturan Nyai Maryam, Syekh Kholil berjalan ke arah Barat dan Nyai Maryam menatap kepergian beliau sampai beliau tak terlihat. Nyai Maryam tidak tahu persisnya Syekh Kholil berangkat naik apa dan dari mana. Barangkali saja Syekh Kholil naik kapal dari Kamal atau dengan cara lain. Wallahu aâalam. [*]

Â

Â

Â

Â

DI MAKKAH AL-MUKARRAMAH

Â

Dalam buku âSurat Kepada Anjing Hitamâ, Saifur Rachman menulis: âSelama dalam perjalanan ke Makkah, Kholil selalu dalam keadaan berpuasa dan mendekatkan diri kepada Allah. Siang hari banyak digunakan membaca Al-Qurâan dan shalawat, sedangkan pada malam hari digunakan melakukan wirid dan taqarub kepada Allah. Hal itu dilakukannya terus menerus sampai di Makkah. Setibanya di mekkah Kholil segera bergabung dengan teman-temannya dari Jawa. Selama di Makkah Kholil mempelajari pelbagai ilmu pengetahuan. Banyak para Syaikh yang Kholil datangi.

Selama menempuh pendidikan di Makkah, kebiasaan hidup sederhana dan prihatin tetap dijalankan seperti waktu dipesantren Jawa. Kholil sering makan kulit semangka ketimbang makanan yang wajar pada umumnya. Sedangkan minumannya dari air zamzam, begitu dilakukannya terus menerus selama empat tahun di mekkah. Hal ini mengherankan teman-teman seangkatannya, seperti Nawawi dari banten, Akhmad Khatib dari Minang Kabau dan Ahmad Yasin dari Padang. Bahkan ketika bermaksud buang air besar, Kholil tidak pernah melakukan di Tanah Haram, tetapi keluar ke tanah halal karena menghormati Tanah Haram.

Didalam berguru, Kholil mencatat pelajarannya menggunakan baju yang dipakainya sebagai kertas tulis. Kemudian, setelah dipahami dan dihafal lalu dicuci, kemudian dipakai lagi. Begitu seterusnya dilakukan selama belajar di Mekkah. Oleh sebab itu pakaian Kholil semuanya berwarna putih. Tentang biaya selama nyantri di Mekkah Kholil menulis pelbagai risalah dan kitab kemudian dijual. Kholil banyak menulis kitab Alfiah dan menjualnya seharga 200 real perkitab.

Terkadang memanfaatkan keahliannya menulis khat (kaligrafi) untuk menghasilkan uang. Semua uang hasil penulisan risalah dan kitab kemudian dihaturkan kepada gurunya. Kholil sendiri memilih kehidupan sangat sederhana. Kehidupan sederhana yang ditempuhnya selama nyantri di mekkah adalah pengaruh kuat ajaran Imam Ghazali, salah seorang ulama yang dikaguminya.

Dalam mengarungi lautan ilmu di Makkah, disamping mempelajari ilmu dhohir (eksoterik), seperti tafsir, Hadits, Fikih dan ilmu nahwu, juga mempelajari ilmu bathin (isoterik) ke pelbagai guru spiritual. Tercatat guru spiritual Kholil adalah Syaikh Ahmad Khatib Sambas Ibnu Abdul Ghofar yang bertempat tinggal di Jabal Qubais. Syaikh Ahmad Khatib mengajarkan Thariqoh Qodariyyah wan Naqsyabandiyyah. Biasanya kedua thariqoh ini terpisah dan berdiri sendiri. Namun setelah Syaikh Ahmad Khatib, kedua thariqoh ini dipadukan.â[2] [*]

Â

Â

Â

Â

CARA BELAJAR SYEKH KHOLIL

Â

Kesimpulannya, didalam menuntut ilmu, Syekh Kholil telah maksimal mengusahakan hal-hal berikut:

1.      Ikhlas karena Allah SWT. Beliau tidak peduli dengan pahitnya kehidupan saat itu, karena yang beliau pentingkan adalah ilmu, dengan harapan Allah ridha dengan ilmu yang beliau dapat. Beliau dapat membuktikan keikhlasan itu ketika Allah SWT menguji beliau dengan hidup yang serba kekurangan.

2.      Akhlaq yang tinggi kepada Allah SWT. Kita bisa lihat akhlaq beliau ketika beliau harus keluar dari tanah haram (Makkah) untuk buang air besar. Beliau merasa tidak sopan buang hajat di tanah suci. Ini menunjukkan betapa Syekh Kholil sangat tawadhuâ dan peka terhadap Allah.

3.      Cinta, hormat dan patuh kepada guru, tentunya setelah memilih guru yang layak. Apapun beliau berikan kepada guru, untuk membantu dan membuat guru ridha. Dihadapan guru, beliau siap sedia untuk diperintah melebihi budak dihadapan tuannya. Jangankan harta, nyawapun siap dipertaruhkan untuk guru.

4.      Mencintai ilmu sehingga beliau rajin belajar.

Dengan menggabung empat hal ini, Syekh Kholil berhasil mendapatkan ilmu yang banyak dan barokah, dan semua itu kemudian mengantarkan beliau mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah, yaitu sebagai ulama da wali Allah. Bagi yang ingin mendapatkan apa yang diperoleh Syekh Kholil, maka empat hal itulah kuncinya. [*]

Â

Â

Â

Â

GURU-GURU SYEKH KHOLIL

DI MAKKAH AL-MUKARRAMAH

Â

Dalam buku âSurat Kepada Anjing Hitamâ, Saifur Rachman menulis: âMuhammad Kholil bersama Abdul Karim dan Tolhah berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Sambas. Setelah ketiganya mendapat ijazah dan berhak sebagai mursyid, lalu pulang ke Jawa menyebarkan thariqoh Qodariyyah dan Naqsyabandiyyah.

Menurut Abah Anom, seorang mursyid Thariqoh Qodariyyah wan Naqsabandiyyah di Tasikmalaya, Syaikh Abdul Karim menyebarkan Thariqot di Banten, Syaikh Tolhah di Cirebon dan syaikh Kholil di Madura. Tentang keabsahan Thariqoh Kiai Kholil banyak kekhilafan diantara ulama. Namun menurut catatan penulis yang mendengar langsung lewat kaset penjelasan murid Kiai Kholil, Kiai Asâad Syamsul Arifin, bahwa thariqoh Kiai Kholil adalah Qodariyyah wan Naqsabandiyyah.

Dengan demikian silsilah Kiai kholil dalam kemursyidan thariqoh Qodariyyah wan Naqsabandiyyah dari jalur Syaikh Ahmad Khatib Sambas adalah sebagai berikut :

1.      Allah SWT Rabbul Alamin.

2.      Jibril AS.

3.      Nabi Muhammad SAW.

4.      Ali Bin Abi Thalib.

5.      Husein Bin Ali.

6.      Zaenal Abidin.[3]

7.      Muhammad Al-Baqir.

8.      Jaâfar Ash-Shodiq.

9.      Imam Musa Al-Kazhim.

10.  Abu Hasan Ali Ar-Ridho

11.  Maâruf Karkhi

12.  Sari As-Saqoti

13.  Abu Qosim Junaid Al-Baghdadi

14.  Abu Bakar Asy-Syibli

15.  Abu Fadly Abd Wahidi At-Tamimi

16.  Abu Farazi At-Thurthusil

17.  Abu Hasan Ayyub

18.  Abu Said Al-Mubarok

19.  Abdul Qodir Al-Jailani

20.  Abdul Aziz

21.  Muhammad Al-Hattak

22.  Syamsudin

23.  Syarifudin

24.  Nurudin

25.  Waliyyuddin

26.  Hisyammuddin

27.  Yahya

28.  Abu Bakar

29.  Abdurrahim

30.  Utsman

31.  Abdul Fattah

32.  Muhammad Muraad

33.  Syamsudin

34.  Ahmad Khatib Sambas

35.  Muhammad Kholil Bangkalan

Melihat kewenangan Kiai Kholil sebagai mursyid Thariqoh Qodariyyah wan Naqsyabandiyyah menunjukkan beliau memiliki derajat yang tinggi di dalam maqom spiritualnya. Menurut penuturan Kiai Asâad Syamsul Arifin, pada saat Kiai Kholil berzikir di ruangan majlis dzikir, apabila lampu dimatikan sering terlihat sinar biru yang sangat terang memenuhi ruangan tersebut.â[4]

Sementara itu, ada empat nama yang saya baca dalam tulisan tangan Syekh Kholil, nampaknya mereka ini adalah guru-guru beliau sewaktu belajar di Makkah Al-Mukarramah, yaitu:

1.      Syekh Ali Al-Mishri: Nama ini saya dapatkan pada salah satu surat Syekh Kholil kepada Kiai Muntaha ketika Kiai Muntaha belajar di Makkah.

2.      Syekh Umar As-Sami: Saya temukan pada tulisan Syekh Kholil sebagai catatan pinggir kitab Al-Matan Asy-Syarif (ilmu nahwu). Di situ Beliau menyitir banyak keterangan yang beliau terima dari Syekh Umar As-Sami.

3.      Syekh Khalid Al-Azhari,

4.      Syekh Al-Aththar

5.      dan Syekh Abun-Naja: Mereka bertiga juga sering disebut dalam beberapa tulisan tangan Syekh Kholil sebagai orang yang memberikan keterangan-keteragan dalam ilmu nahwu. Nama-nama itu tersebar di berbagai kitab tulisan tangan Syekh Kholil. Saya melihat dan mempelajari tulisan-tulisan itu dari kitab-kitab Syekh Kholil yang ada pada Kiai Thoha Kholili. [*]

Â

Syek Ali Ar-Rahbini, guru terdekat Syekh Kholil

Syekh Ali bin Muhammad Amin bin Athiyyah Ar-Rahbini. Beliau adalah salah satu ulama Makkah. Saya pernah membaca biografi beliau dalam sebuah kitab âTarajimâ yang saya pinjam dari Syekh Ruwaid bin Hasan Ar-Rahbini ketika beliau bertandang ke Malang, namun sayang sekali saya tidak sempat meng-copy kitab itu, sayapun lupa sebagian besar isinya. Kejadian itu memang sudah cukup lama, yaitu sekitar tahun 1992 dimana pada saat itu saya baru berusia 17 tahun.

Adapun putra beliau yag bernama Syekh Muhammad bin Ali, maka Syekh Umar Abdul Jabbar, dalam kitab âtarajimânya, menulis bahwa beliau lahir pada tahun 1286 H (+ 1871) dan wafat tahun 1351 H (+ 1934). Maka Syekh Muhammad bin Ali lebih muda 36 tahun dari Syekh Kholil. Beliau masuk dalam jajaran ulama Makkah abad ke-13, sezaman dengan Sayyid Abbas bin Abdul Aziziz Al-Maliki (kakek Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas Al-Maliki). Menurut Syekh Umar Abdul Jabbar, Syekh Muhammad bin Ali memiliki Majlis taâlim di Babul Umroh Masjidil Haram. Bisa jadi, Syekh Muhamad menggatikan majlis ayah beliau, sebagaimana adat ulama Makkah apabila meneruskan profesi orang tuanya. Syekh Ali dan Syekh Muhammad masyhur dengan keahlian yang menonjol dalam bidang qiraâat (riwayat bacaan Al-Quraâan). Mereka hafal Al-Qurâan dengan tujuh qiraâat (riwayat).

Adapun Syekh Ali Ar-Rahbini, Di akhir hayat beliau tertimpa sakit hingga mengalami kebutaan, sehingga beliaupun berhenti mengajar di Masjidil Haram. Namun Syekh Kholil tidak berhenti belajar kepada Syekh Ali setelah beliau buta, karena Syekh Kholil memohon izin untuk terus belajar di rumah beliau dan beliaupun berkenan. Syekh Kholil sangat menghormati dan meyakini Syekh Ali, sehingga ketika Syekh Ali meyuruh Syekh Kholil pulang, Syekh Kholil mematuhi perintah itu walau sebenarnya beliau masih merasa kurang ilmu dan masih ingin menambah ilmu. Berkat kepatuhan itu Syekh Kholil diberkati oleh Allah SWT.

Pada tahun 1997 saya bersilaturrahim kepada Syekh Muhammad Thayyib bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini di Makkah, cucu Syekh Ali Ar-Rahbini, waktu itu beliau telah berusia 95 tahun dan saya baru berusia 22 tahun. Kebetulan, ibu saya adalah cucu Syekh Ali dari jalur Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini, maka saya pernah âbuyut pamanâ pada Syekh Muhammad Thayyib. Diantara riwayat yang saya ambil dari beliau adalah bahwa Syekh Ali Ar-Rahbini memiliki karya tulis tentang Al-Qurâan, namun sampai saat itu manuskripnya hilang entah kemana.

Mengenai nisbat Ar-Rahbini, Rahbin adalah nama sebuah kampung di dekat kota Samannud, Mesir. Syekh Ali memang keturunan Mesir. Beliau yang pertama wafat di Makkah. Ayah beliau, yaitu Syekh Muhammad Amin wafat di Istambul, Turki. Sedang kakek beliau, yaitu Syekh Athiyyah, dan beberapa generasi sebelumnya tinggal di kampung Rahbin itu. Keluarga Ar-Rahbini yang di Indonesia memegang silsilah hanya sampai Athiyyah. Menurut Syekh Ruwaid bin Hasan bin Ali Ar-Rahbini, cucu beliau yang tinggal di Jiddah, nasab Al-Rahbini bersambung pada Sayyidina Utsman bin Affan.

Setelah Syekh Kholil pulang ke Indonesia, beliau tidak putus hubungan dengan Syekh Ali. Setelah Syekh Ali meninggal, ternyata putra beliau, Syekh Muhammad, juga menonjol kelimannya dan mengajar di Masjidil Haram. maka keponakan Syekh Kholilpun, yaitu Kiai Muntaha yang kelak kemudian menjadi menantu beliau, belajar pada Syekh Muhamlad bin Ali Ar-Rahbini.

Hubungan Syekh Kholil dengan keluarga Ar-Rahbini tidak berhenti sampai pada Syekh Muhammad, melainkan berlangsung sampai pada Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini, karena cucu guru beliau itu akhirnya datang ke Indonesia. Cerita kedatangan Syekh Ali cukup menarik sehingga layak untuk dimuat sebagai salah satu cerita karomah Syekh Kholil.

Pada suatu pagi setelah shalat shubuh, seperti biasa Syekh Kholil mengajar santri di mushalla. Tiba-tiba Syekh Kholil menutup kitab dan berkata: âAnak-anak, pengajian kali ini singkat saja, sekarang kalian langsung membersihkan halaman dan ruang tamu, karena sebentar lagi ada tamu agung, yaitu cucu dari guruku, Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini.

Setelah semua lingkungan pondok bersih, maka datanglah Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini. Syekh Kholil sudah tahu bakal kedatangan tamu jauh, padahal waktu itu belum ada telpon.

Setelah Syekh Ali datang, maka Syekh Kholil menciumi Syekh Ali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Begitu cinta dan hormatnya beliau terhadap Syekh Ali sebagai cucu dari guru beliau. Kemudian Syekh Kholil menyuruh santri untuk mengambil tiga gelas diatas nampan, gelas yang pertama diisi air putih, gelas kedua diisi susu, gelas ketiga diisi kopi. Kemudian Syekh Kholil berkata pada santri-santri: âApabila Syekh Ali minum susu, insyaallah beliau tidak lama di Indonesia. Apabila Syekh Ali minum air putih, insyaallah beliau akan tinggal lama di Indonesia dan akan pulang ke Makkah. Dan apabila Syekh Ali minum kopi, insyaallah beliau terus tinggal di Indonesia.â Mendengar ucapan Syekh Kholil tersebut, para santri menunggu saatnya Syekh Ali memilih diantara tiga gelas itu. Ternyata Syekh Ali memilih dan meminum kopi, padahal kopi Madura (Indoesia) lain dengan kopi Arab. Kontan saja para santri bersorak gembira. Syekh Ali hanya tersenyum saja karena tidak mengerti apa yang terjadi, beliau pikir sorak gembira itu adalah bagian dari adat menyambut tamu.

Syekh Ali datang ke Indonesia pada tahun 1921, beberapa tahun sebelum Syekh Kholil wafat. Waktu itu Syekh Ali masih berusia 18 tahun dan masih lajang, namun sudah hafal Al-Qurâan dan perawakannya tinggi besar dengan wajah putih berbulu lebat. Dengan ilmu dan perawakannya itu beliau tidak nampak seperti anak muda, melainkan sudah berwibawa.

Kendatipun Syekh Kholil sangat menghormati Syekh Ali, namun Syekh Ali juga tidak kalah menghormati Syekh Kholil, bahkan Syekh Ali kemudian berguru pada Syekh Kholil. Tidak sampai di situ, melainkan Syekh Ali menjadi sangat taâzhim dan fanatik terhadap Syekh Kholil. Beliaupun menikahkan salah satu cucu beliau dengan seorang cucu Syekh Kholil. Ketika lahir anak pertama pasangan sang Kiai cucu Syekh Kholil dan sang Nyai cucu Syekh Ali, Syekh Ali memberi bayi itu Nama âKholilâ. Semula sang Kiai cucu Syekh Kholil itu keberatan, karena di keluarga beliau sudah banyak yang bernama âKholilâ. Menanggapi keberatan itu kemudian Syekh Ali marah dan berkata: âBiarpun sudah ada seribu âKholilâ, anakmu tetap harus diberi nama âKholilâ. Seribu âKholilâ seribu barokah!â Akhirnya anak itupun kemudian diberi nama âKholilâ.

Itu adalah sebagian cerita antara Syekh Kholil dengan keluarga Ar-Rahbini. Adapun Syekh Ali Ar-Rahbini sendiri kemudian tinggal di Gondanglegi Malang. Beliau dikenal sebagai ulama yang hafal Al-Qurâan dan fasih, suaranya yang lantang dan berwibawa membuat jamaah jumâat betah mendengar khutbah beliau walaupun mereka tidak mengerti khutbah beliau yang berbahasa Arab. Beliau juga dikenal wali, banyak cerita kezuhudan dan karomah beliau yang tentu terlalu panjang untuk dimasukkan dalam bab ini.

Beliau menikah dengan beberapa wanita Jawa dan Madura, dari lima orang istri beliau mempunyai 24 putra-putri. Beberapa putri beliau dinikahkan dengan Kiai-kiai Madura, yaitu Nyai Lathifah dengan Kiai Shonhaji Jazuli (ulama besar Pamekasan); adiknya, yaitu Nyai Aminah dengan adik Kiai Shonhaji, yaitu Kiai Mahalli; Nyai Sarah dengan Kiai Asim Luk-guluk (ulama besar Sumenep); Nyai Qudsiyah dengan Kiai Abdul Aziz Ombhul (ulama besar Sampang). Adapun dari putra-putra beliau ada dua orang yang meneruskan perjuangan beliau, yaitu Kiai Fauzi di Gondanglegi, Malang dan Kiai Khairuman yang mendirikan pondok pesantren di Pontianak, yaitu Pesantren Darul Ulum yang merupakan pesantren terbesar dan terkenal di Kalimantan Barat. [*]

[1] Â Â Â Â Â Saifur Rachman, Surat kepada Anjing Hitam, Pustaka Ciganjur cetakan pertama tahun 1999, halaman 9-10.

[2] Â Â Â Â Â Saifur Rachman, Surat kepada Anjing Hitam, Pustaka Ciganjur cetakan pertama tahun 1999, halaman 10-11.

[3]Â Â Â Ali Zainal Abidin bin Husain.

[4] Â Â Â Â Â Saif ur Rachman, Surat kepada Anjing Hitam, Pustaka Ciganjur cetakan pertama tahun 1999, halaman 12-13.

Sumber Posted in Mencintai Rasulullah | No Comments »


Kyai Kholil Bangkalan (4)

January 18th, 2009 by syafii


$3C/p>

SEPULANG DARI MAKKAH

Â

Saya membaca catatan Syekh Kholil dalam kitab âHasyiyah Al-Bajuriâ tulisan tangan beliau yang ada pada Kiai Thoha Kholili Jangkibuan, di situ tertulis pernyataan berbahasa Arab yang artinya: âAku membaca (mengaji) kitab ini pada tahun 1274 H pada â¦â. Nama guru ngaji beliau tidak jelas karena tulisannya rusak seperti terkena basah.

Kemudian, dalam catatan Kiai Kholili Jangkibuan, tertulis bahwa Syekh Kholil menikah dengan Nyai Assek binti Ludrapati pada tahun 1278. Maka kita bisa memastikan bahwa kepulangan Syekh kholil dari Makkah adalah antara tahun 1274 dan 1278 (+ 1857-1861).

Sepulang dari Makkah, Syekh Kholil tidak langsung mengajar, beliau baru mulai berpikir bagaimana caranya agar dapat mengajarkan ilmunya pada masyarakat. Beliau masih tinggal bersama kakak beliau, Nyai Maryam, di Keramat. Sambil mencari peluang untuk mengamalkan ilmunya, Syekh Kholil mengisi waktu dengan bekerja di kantor pejabat Adipati Bangkalan. Selain untuk mencari nafkah, sepertinya beliau juga bermaksud untuk mencari banyak teman dan kenalan, karena hanya dengan begitulah beliau dapat bergaul.

Di kantor pejabat Adipati Bangkalan itu, Syekh Kholil diterima sebagai penjaga dan kebagian jaga malam. Maka setiap bertugas malam, Syekh Kholil selalu membawa kitab, beliau rajin membaca di sela-sela tugas beliau. Akhirnya beliaupun oleh para pegawai Adipati dikenal ahli membaca kitab, sehingga berita itupun sampai pada Kanjeng Adipati. Kebetulan, leluhur Adipati sebenarnya adalah orang-orang alim, mereka memang keturunan Syarifah Ambami Ratu Ibu yang bersambung nasab pada Sunan Giri. Maka tidak aneh kalau di rumah Adipati banyak terdapat kitab-kitab berbahasa Arab warisan leluhur, walaupun Adipati sendiri tidak dapat mebaca kitab berbahasa Arab. Adipatipun mengizinkan Syekh Kholil untuk membaca kitab-kitab itu di perpustakaan beliau. Syekh Kholil merasa girang bukan main, karena pada zaman itu tidak mudah untuk mendapatkan kitab, apalagi sebanyak itu.

Setelah yakin bahwa Syekh Kholil betul-betul ahli dalam ilmu keislaman dan bahasa Arab, maka Kanjeng Adipati mengganti tugas Syekh Kholil, dari tugas menjaga kantor berubah tugas mengajar keluarga Adipati. Pucuk dicinta ulampun tiba, demikianlah yang dirasa oleh Syekh Kholil, beliaupun memanfaatkan kesempatan itu untuk mengembangkan ilmunya dengan mengajar keluarga bangsawan. Beliaupun telah memiliki profesi baru sebagai pengajar ilmu agama.

Sejak saat itu, Syekh Kholil memiliki tempat yang terhormat di hati Kanjeng Adipati dan keluarga bangsawan lainnya. Mereka mulai menghormati dan mencintai beliau sebagai ulama. Maka tertariklah seorang kerabat Adipati untuk bermenantukan Syekh Kholil, yaitu Raden Ludrapati yang memiliki anak gadis bernama Nyai Assek. Setelah proses pendekatan, maka diputuskanlah sebuah kesepakatan untuk menikahkan Syekh Kholil dengan Nyai Assek. Pernikahanpun berlangsung pada tanggal 30 Rajab 1278 H (+1861 M).

Setelah menikah dengan Nyai Assek, Syekh Kholil mendapatkan hadiah dari sang mertua, Ludrapati, berupa sebidang tanah di desa Jangkibuan. Beliaupun membangun rumah dan pesantren di tanah itu. Beliau mulai menerima santri sambil masih mengajar di keraton Adipati. Tidak ada riwayat tentang sampai kapan Syekh Kholil mengajar di keraton Adipati, namun yang pasti, Pesantren Jangkibuan semakin hari semakin ramai, banyak santri berdatangan dari berbagai penjuru, baik dari sekitar Bangkalan maupun daerah lain di Madura dan Jawa.

Syekh Kholil mengukir prestasi dengan cepat, nama beliau cepat dikenal oleh masyarakat, khususnya masyarakat pesantren, baik di Madura maupun di Jawa. Cepatnya nama beliau terkenal membuat banyak teman mondok beliau tidak percaya. Diantara mereka ada seseorang yang pernah berteman dengan beliau sewaktu mondok di Cangaan, orang ini tidak percaya bahwa Kholil yang ia kenal telah menjadi ulama besar.

Ketika ia mendengar bahwa Syekh Kholil itu adalah Kholil temannya di Cangaan, maka iapun berkata: âMasa, sih, dia Kholil yang dulu suka main kelereng dengan saya itu?!â. Karena penasaran, orang itupun datang ke Bangkalan. Setibanya di bangkalan, orang itu bertanya pada seseorang, âmana rumah Syekh Kholil?â. Orang yang ditanya menunjukkan arah rumah Syekh Kholil, namun ternyata orang Jawa itu justru melihat banyak binatang buas di tempat yang ditunjuk itu. Iapun kembali menemui orang yang ditanya tadi, tapi tetap saja ia menunjuk tempat yang sama. Demikian sampai tiga kali.

âTapi tempat itu bukan rumah, kok, pak. Di situ saya lihat banyak binatang buasnya.â

âAh, masa? Baiklah, mari saya antar.â

Setelah ketiga kalinya, orang Jawa itupun diantar dan begitu tiba di tempat ternyata ia melihat sebuah rumah yang dikerumuni binatang buas, bersamaan dengan itu keluarlah Syekh Kholil dan binatang-binatang itupun langsung pergi. Melihat yang keluar adalah benar-benar Kholil yang ia kenal, maka orang Jawa itupun langsung mencium tangan Syekh Kholil dan meminta maaf. Sejak saat itu, orang Jawa yang dulunya berteman dengan Syekh Kholil di Cangaan itupun kemudian berguru pada Syekh Kholil. [*]

Â

Â

Â

Â

PESANTREN DEMANGAN

Â

Pada tahun 1280 (+1863), lahirlah putri Syekh Kholil yang bernama Nyai Khotimah. Sementara itu Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil) dengan Kiai Kaffal memiliki putra bernama Kiai Muntaha yang lahir pada tahun 1266 H. Saat Nyai Khotimah lahir, Kiai Muntaha berusia 14 tahun. Muntaha muda diberangkatkan ke Makkah untuk menuntut ilmu. Pada tahun 1288, Kiai Muntaha yang telah berubah nama menjadi Muhammad Thoha pulang ke Madura, saat itu beliau berusia 22 tahun. Maka Syekh Kholil menikahkan Kiai Thoha dengan Nyai Khotimah yang masih berusia 8 tahun. Namun Kiai Thoha dan Nyai Khotimah tidak langsung dipertemukan, melainkan Kiai Thoha berangkat lagi ke Makkah untuk melanjutkan pendidikan hingga tujuh tahun lamanya. Ada yang mengatakan hingga sembilan tahun.

Setelah Kiai Thoha pulang, beliau telah menjadi seorang ulama muda yang mumpuni dalam berbagai bidang ilmu keislaman. Maka Syekh Kholilpun menyerahkan Pesantren Jangkibuan pada Kiai Thoha, sementara Syekh Kholil sendiri pindah dan mendirikan pesantren di Demangan.

Dalam buku âSurat Kepada Anjing Hitamâ, Saifur Rahcman menulis: âDari Pesantren Demangan inilah Kiai Kholil bertolak menyebarkan agama Islam di Madura hingga Jawa. Kiai Kholil mula-mula membina agama Islam di sekitar Bangkalan. Baru setelah dirasa cukup baik, mulailah merambah ke pelosok-pelosok jauh, hingga menjangkau ke seluruh Madura secara merata.

Pulau Jawa yang merupakan pulau terdekat dengan pulau Madura menjadi sasaran daâwah Kiai Kholil. Jawa yang telah dirintis oleh pendahulunya yaitu Sunan Giri, dilanjutkan oleh Kiai Kholil dengan metode daâwah yang sistematis. Tidak jarang Kiai Kholil dalam daâwahnya terjun langsung ke masyarakat lapisan terbawah di pedesaan Jawa. Saat ini masih nyata bekas peninggalan daâwah Kiai Kholil baik berupa naskah-naskah, kitab Al-Qurâan, maupun monument atau tugu yang pernah dibangunnya. Sebuah tugu penunjuk arah kiblat dan tanda masuknya sholat lima waktu masih dapat dilihat sampai sekarang di Desa Pelalangan, Bondowoso. Demikian juga beberapa kenangan berupa hadiah tasbih kepada salah satu masyarakat di daerah Bondowoso.

Masih banyak bekas jejak daâwah yang dapat kita temui sekarang, seperti musholla, sumur, sorban, tongkat Kiai Kholil.[1] [*]

Â

Â

Â

Â

MURID-MURID SYEKH KHOLIL

Â

Berikut saya nukil tulisan Saifur Rachman dalam buku âSurat Kepada Anjing Hitamâ:

âHampir ulama besar di Madura dan Jawa adalah murid Kiai Kholil. Selain itu, murid Kiai Kholil rata-rata berumur panjang, banyak diatas 100 tahun. Berikut ini sebagian murid Kiai Kholil yang mudah dikenal saat ini :

1.      KH. Hasyim Asyâari : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional.

2.      KHR. Asâad Syamsul Arifin : Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiâiyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo. Pesantren ini sekarang memiliki belasan ribu orang santri.

3.      KH. Wahab Hasbullah: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. Pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 â 1971).

4.      KH. Bisri Syamsuri: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.

5.      KH. Maksum : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah

6.      KH. Bisri Mustofa : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Beliau juga dikenal sebagai mufassir Al Quran. Kitab tafsirnya dapat dibaca sampai sekarang, berjudul âAl-Ibrizâ sebanyak 3 jilid tebal berhuruf jawa pegon.

7.      KH. Muhammad Siddiq : Pendiri, Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember.

8.      KH. Muhammad Hasan Genggong : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong. Pesantren ini memiliki ribuan santri dari seluruh penjuru Indonesia.

9.      KH. Zaini Munâim : Pendiri, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Pesantren ini juga tergolong besar, memiliki ribuan santri dan sebuah Universitas yang cukup megah.

10.  KH. Abdullah Mubarok : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya, kini dikenal juga menampung pengobatan para morphinis.

11.  KH. Asyâari : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso.

12.  KH. Abi Sujak : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep.

13.  KH. Ali Wafa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember. Pesantren ini mempunyai ciri khas yang tersendiri, yaitu keahliannya tentang ilmu nahwu dan sharaf.

14.  KH. Toha : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.

15.  KH. Mustofa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan

16.  KH Usmuni : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep.

17.  KH. Karimullah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.

18.  KH. Manaf Abdul karim : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.

19.  KH. Munawwir : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

20.  KH. Khozin : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.

21.  KH. Nawawi : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Pesantren ini sangat berwibawa. Selain karena prinsip salaf tetap dipegang teguh, juga sangat hati-hati dalam menerima sumbangan. Sering kali menolak sumbangan kalau patut diduga terdapat subhat.

22.  KH. Abdul Hadi : Lamongan.

23.  KH. Zainudin : Nganjuk

24.  KH. Maksum : Lasem

25.  KH. Abdul Fatah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung

26.  KH. Zainul Abidin : Kraksan Probolinggo.

27.  KH. Munajad : Kertosono

28.  KH. Romli Tamim : Rejoso jombang

29.  KH. Muhammad Anwar : Pacul Bawang, Jombang

30.  KH. Abdul Madjid : Bata-bata, Pamekasan, Madura

31.  KH. Abdul Hamid bin Itsbat, banyuwangi

32.  KH. Muhammad Thohir jamaluddin : Sumber Gayam, Madura.

33.  KH. Zainur Rasyid : Kironggo, Bondowoso

34.  KH. Hasan Mustofa : Garut Jawa Barat

35.  KH. Raden Fakih Maskumambang : Gresik

36.  KH. Sayyid Ali Bafaqih : Pendiri, pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali.â[2] [*]

Â

Â

Â

Â

Â

Â

SYEKH KHOLIL DAN NU

Â

Berikut saya nukil tulisan Saifur Rachman dalam buku âSurat Kepada Anjing Hitamâ:

âMurid Kiai Kholil, Kiai Hasyim Asyâari, sebagai sesepuh Pulau Jawa waktu itu, sedang memusatkan perhatiannya terhadap rencana berdirinya Jamâiyyah Nahdlatul Ulama. Kiai Hasyim Asyâari tampak resah, beberapa kali memohon petunjuk Allah SWT dengan melaksanakan sholat Istikharah. Sungguhpun sudah melakukan sholat istikharah berkali-kali, namun petunjuk tak kunjung datang. Rupanya petunjuk Allah terhadap rencana berdirinya jamâiyah Nahdlatul Ulama tidak diberikan langsung kepada Kiai Hasyim Asyâari, tetapi melalui Kiai Kholil.

Pada tahun 1924, ketika petunjuk Allah datang, Syekh Kholil segera memanggil muridnya, Asâad Syamsul Arifin, santri senior berumur 27 tahun untuk menghadap.

âAsâad,â kata Syekh Kholil, âYa, Kiai, â jawab Asâad santri.

âAsâad, tongkat ini antarkan ke Tebu Ireng dan sampaikan langsung kepada Kiai Hasyim Asy-âari,â pesan Syekh Kholil sambil menyerahkan sebuah tongkat. âTetapi ada syaratnya. Kamu harus hafal Al-Quran ayat 17-23 surat Thoha,â pesan Syekh Kholil lebih lanjut, âBacakanlah kepada Kiai Hasyim ayat-ayat itu,â pesan Syekh Kholil menutup pembicaraan.

Begitu menerima perintah, Asâad santri segera berangkat ke Tebu Ireng, kediaman KH. Hasyim Asyâari. Setelah Asâad santri menempuh perjalanan cukup panjang dengan berjalan kaki yang tentu saja banyak mengalami suka dan duka, akhirnya tibalah di Tebu Ireng. Mendengar kedatangan utusan Syekh Kholil, Kiai Hasyim Asyâari menduga pasti ada sesuatu yang sangat penting. Ternyata benar.

âKiai, saya diutus Kiai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.â Kata Asâad santri sambil menyerahkan sebuah tongkat. Tongkat itu diterima dengan penuh perasaan haru. Kiai Hasyim lalu bertanya kepada Asâad santri, âApa tidak ada pesan dari Kiai Kholil?â Asâad santri lalu membaca :

Â

ÙÙÙÙا تÙÙÙÙ٠بÙÙÙÙÙÙÙÙÙÙÙ ÙÙÙÙÙÙس٠(17) ÙÙاÙÙ ÙÙÙ٠عÙصÙاÙ٠أÙتÙÙÙÙÙÙأ٠عÙÙÙÙÙÙÙا ÙÙØ£ÙÙÙØ´Ù٠بÙÙÙا عÙÙ٠غÙÙÙÙÙÙÙ ÙÙÙÙÙÙ ÙÙÙÙÙÙا ÙÙآرÙب٠أÙØ®Ùر٠(18) ÙÙاÙ٠أÙÙÙÙÙÙÙا ÙÙÙÙÙÙس٠(19) ÙÙØ£ÙÙÙÙÙÙÙا ÙÙØ¥ÙØ°Ùا ÙÙÙÙ Ø­ÙÙÙÙة٠تÙسÙع٠(20) ÙÙاÙÙ Ø®ÙØ°ÙÙÙا ÙÙÙاتÙØ®ÙÙ٠سÙÙÙعÙÙÙدÙÙÙا سÙÙÙرÙتÙÙÙا اÙØ£ÙÙÙÙÙ (21) ÙÙاضÙÙÙÙÙ ÙÙدÙÙ٠إÙÙ٠جÙÙÙاحÙÙ٠تÙØ®ÙرÙج٠بÙÙÙضÙاء٠ÙÙÙ٠غÙÙÙر٠سÙÙÙء٠آÙÙة٠أÙØ®Ùر٠(22) ÙÙÙÙرÙÙÙÙÙ ÙÙÙ٠آÙÙتÙÙÙا اÙÙÙبÙر٠(23)

Â

Artinya:

âApakah itu yang ditanganmu, hai Musa?â Berkata Musa: âIni adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambing dan bagiku ada lagi keperluan lain padanya.â Allah berfirman: âLemparkanlah ia, hai Musa!â Lalu dilemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba menjadi sekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: âPeganglah ia dan jangan kau takut, kami akan mengembalikannya pada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu diketiakmu niscaya keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain, untuk Kami perlihatkan kepadau sebagian dari tanda-tanda kekuasan Kami yang sangat besarâ.

Â

Mendengar ayat-ayat yang dibacakan Asâad santri, hati Kiai Hasyim bergetar. Matanya menerawang. Terbayang wajah Syekh Kholil yang sangat tua dan bijaksana. âOh ya, berarti ini berkaitan dengan rencana mendirikan jamâiyah Nahdlatul Ulama itu,â kata Kiai Hasyim Asyâari terharu. Kiai Hasyim menangkap isyarat berarti gurunya tidak berkeberatan kalau mendirikan sebuah organisasi jamâiyah. Sejak saat itulah keinginan Kiai Hasyim untuk mendirikan sebuah organisasi jamiâyyah sudah mantap. Lalu dimusyawarahkan dan dirumuskannya segala sesuatu yang berkenaan dengan organisasi itu. Sungguhpun demikian, hari demi hari, bulan demi bulan, organisasi jamâiyyah yang dicita-citakan belum berdiri. Sampai suatu saat datang utusan Syekh Kholil ke Tebui Ireng. Memang, dalam pertengahan tahun 1925, Syekh Kholil memanggil Asâad santri kembali menghadap. Seperti satu setengah tahun yang lalu, Asâad santri dipanggil untuk maksud yang sama, yaitu diutus ke Tebu Ireng. Bedanya, kalau dahulu diutus untuk menyerahkan tongkat, maka kali ini untuk menyerahkan tasbih. Seperti halnya tongkat, tasbih inipun disertai pesan Syekh Kholil pada Asâad santri berupa bacaan salah satu Asmaâul Husna, yaitu Ya Jabbar Ya Qohhar sebanyak tiga kali. Berangkatlah Asâad santri ke Tebu Ireng sebagai utusan Syekh Kholil Bangkalan. Setelah Asâad santri menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan berjalan kaki. Tentu saja suka dukapun dialami Kiai Asâad dalam tugas ini, seperti yang dituturkan oleh beliau sendiri bahwa dalam perjalanan itu sampai ada yang mengatakan dirinya sebagai orang gila karena berkalungkan tasbih sambil berjalan kaki. Tetapi ada juga yang mengatakan sebagai seorang wali Allah.

Akhirnya, Asâad santri tiba di Tebu Ireng. Kiai Asâad berkata: âSesampainya di Tebu Ireng, saya bertemu dengan Kiai Hasyim dan menyerahkan tasbih sambil membungkuk. Kiai hasyim sendiri yang mengambil tasbih itu dari leher saya.â Tasbih yang diserahkan kepada Kiai Hasyim tidak berubah dari posisi semula sejak dikalungkan oleh Syekh Kholil di Bangkalan. âSaya tidak berani mengubahnya, meskipun di jalan banyak orang yang menertawakan dan mungkin saya dianggap gila.â Kata Kiai Asâad mengenang perjalanan yang katanya tidak bisa melupakan kejadian itu. Setahun setelah kejadian itu, di Surabaya berkumpul para ulama se-Jawa-madura. Mereka bermusyawarah dan sepakat mendirikan organisasi Islam Jamiâyyah Nahdlatul Ulama di Indonesia. Pada hari itu juga, tangal 31 Desember 1926, jamâiyyah Nahdlatul Ulama resmi berdiri. Kemudian para ulama sepakat memilih KH. Hasyim Asyâari menjabat sebagai ketua umumnya. Latar belakang sejarah kelahiran NU yang tidak mudah. Untuk mendirikannya memohon izin terlebih dahulu kepada Allah SWT. Permohonan petunjuk yang diprakarsai oleh Kiai Hasyim Asyâari rupanya tidak datang langsung kepada beliau. Tetapi petunjuk datang melalui Syekh Kholil. Jadi, jelas posisi Syekh Kholil didalam kesejarahan proses berdirinya jamâiyyah Nahdlatul Ulama adalah sebagai inspirator.â[3]

Kemudian, Kiai Kholili bin Abdul Lathif meriwayatkan, sebagaimana yang yang dituturkan oleh Kiai Thoha Kholili Jangkibuan, bahwa pada tahun 1925, beberapa waktu sebelum Syekh Kholil wafat, Kiai Hasyim Asyâari bersama beberapa Kiai Jawa datang ke Bangkalan untuk memohon restu Syekh Kholil didalam meresmikan NU. Namun saat itu kesehatan Syekh Kholil sudah sangat lemah, sehingga beberapa saat sebelum kedatangan rombongan Kiai Hasyim Asyâari, Syekh Kholil menitip pesan kepada Kiai Muhammad Thoha (menantu Syekh Kholil), bahwa sebentar lagi rombongan Kiai Hasyim datang, mereka tidak usah bertemu Syekh Kholil. Melalui Kiai Muhammad Thoha, Syekh Kholil memberi restu atas peresmian NU. Dan memang, pada akhir hayat Syekh Kholil, ketika beliau tidak lagi sehat, beliau jarang sekali menerima tamu. Apabila ada pertanyaan masalah hukum, beliau sering melemparkan kepada Kiai Muhammad Thoha untuk menjawabnya. Maka rombongan Kiai Hasyim Asyâari langsung menuju Kiai Muhammad Thoha di Pesantren Jangkibuan. [*]

[1] Â Â Â Â Â Saif ur Rachman, Surat kepada Anjing Hitam, Pustaka Ciganjur cetakan pertama tahun 1999, halaman 20-21.

[2] Â Â Â Â Â Saif ur Rachman, Surat kepada Anjing Hitam, Pustaka Ciganjur cetakan pertama tahun 1999, halaman 12-13

[3] Â Â Â Â Â Saifur Rachman, Surat kepada Anjing Hitam, Pustaka Ciganjur cetakan pertama tahun 1999, halaman 25-28.

Sumber Posted in Mencintai Rasulullah | No Comments »


Kyai Kholil Bangkalan (5)

January 18th, 2009 by syafii



PENINGGALAN SYEKH KHOLIL UNTUK UMMAT


Syekh Kholil wafat pada hari kamis tanggal 29 Ramadhan 1343 H (1925 M) jam 04 pagi. Jenazah beliau dishalati di Masjid Agung Bangkalan pada sore harinya setelah shalat ashar, kemudian dimakamkan di Pemakaman Martajasah, Bangkalan.

Syekh Kholil banyak meninggalkan âwarisanâ yang bermanfaat untuk ummat. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pesantren Jangkibuan. Pesantren ini terus aktif sampai kini dan diasuh oleh keurunan Nyai Khotimah bin Kholil dengan Kiai Thoha. Pesantren ini diberi nama âPesantren Al-Muntaha Al-Kholiliâ.

2. Pesantren Kademangan. Sepeninggal Syekh Kholil, pesantren ini diasuh oleh keturunan beliau sendiri. Saya mendapatkan tiga nama urutan pengasuh Pesantren Kedemangan, yaitu Kiai Abdul Fattah bin Nyai Aminah binti Nyai Muthmainnah binti Imron bin Kholil, kemudian Kiai Fakhrur Rozi bin Nyai Romlah binti Imron bin Kholil, kemudian Kiai Abdullah Sachal bin Nyai Romlah binti Imron bin Kholil. Sampai kini (2007) Pesantren Kademangan diasuh oleh Kiai Abdullah Sachal.

3. Kitab âAs-Silah fi Bayanin-nikahâ. Sebuah kitab tentang pernikahan, meliputi segi hukum dan adab. Dicetak oleh Maktabah Nabhan bin Salim Surabaya.

4. Rangkaian Shalawat. Dihimpun oleh KH. Muhammad Kholid dalam kitab âIâanatur Roqibinâ dan dicetak oleh Pesantren Roudlotul Ulum, Sumber Wringin, Jember. Jawa Timur.

5. Dzikir dan wirid. Dihimpun oleh KH. Mushthofa Bisri, Rembang, Jawa Tengah, dalam sebuah kitab berjudul âAl-Haqibahâ. [*]


KAROMAH SYEKH KHOLIL


Pada bab III, buku âSurat Kepada Anjing Hitamâ menceritakan 29 cerita karomah Syekh Kholil, namun saya kutib yang 16 saja. Dalam buku itu ditulis:

Pengertian Karomah

Istilah karomah beraral dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia[1]. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengistilahkan karomah dengan keramat diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu diluar kemampuan manusia biasa karena ketaqwaanya kepada Tuhan. [Dept. P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, halaman 483]

Ajaran Islam[2] memaksudkan sebagai âKhariqun lil adatâ[3], yaitu kejadian yang luar biasa pada seorang wali Allah. Syaikh Thohir bin Sholeh Al-Jazairi mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi. [Thohir bin Sholeh Al-Jazairi, Jawahirul Kalamiyah, terjemahan Jakfar Amir, Penerbit Raja Murah Pekalongan, hal. 40]

Sedangkan, Imam Qusyairi menjelaskan karomah sebagai penampakan karomah merupakan tanda-tanda kebenaran sikap dan kelakuan seseorang. Barangsiapa yang tidak benar sikap dan kelakuannya, maka tidak dapat menunjukkan kekaromahannya. Dan Allah yang maha Qodim memberi tahu kepada kita agar membedakan orang yang benar dan mana yang batil. [Abul Qosim Abdul Karim Hawazim Qusyairi Naisabury, Risaltul Qusyairiyah, Darul Khoir, halaman 353]

Dengan demikian, istilah karomah dapat disimpulkan sebagai kejadian yang luar biasa pada seseorang yang merupakan anugerah dari Allah dikarenakan ketaqwaanya.[4]

1. PENCURI TIMUN TIDAK BISA DUDUK


Diantara karomahnya adalah pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus menerus. Akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi, setelah bermusuyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Kiai Kholil. Sesampainya di rumah Kiai Kholil, sebagaimana biasanya Kiai sedang mengajarkan kitab nahwu[5]. Kitab tersebut bernama Jurmiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.

âAssalamuâalaikum, Kiai,â ucap salam para petani serentak.

âWaâalaikum salam, â Jawab Kiai Kholil.

Melihat banyaknya petani yang datang. Kiai bertanya :

âSampean ada keperluan, ya?â

âBenar, Kiai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kiai penangkalnya.â Kata petani dengan nada memohon penuh harap.

Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kiai kebetulan sampai pada kalimat âqoma zaidunâ yang artinya âzaid telah berdiriâ. Lalu serta merta Kiai Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf âqoma zaidunâ.

âYa.., Karena pengajian ini sampai âqoma zaidunâ, ya âqoma zaidunâ ini saja pakai penangkal.â Seru Kiai dengan tegas dan mantap.

âSudah, pak Kiai?â Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda Tanya.

âYa sudah.â Jawab Kiai Kholil menandaskan. Mereka puas mendapatkan penangkal dari Kiai Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Kiai Kholil.

Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sis-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.

Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Kiai Kholil lagi. Tiba di kediaman Kiai Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian. Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Kiai kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.[6]

2. DIDATANGI MACAN


Diantara karomahnya, pada suatu hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santri-santrinya. âAnak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini.â Kata Kiai Kholil agak serius.

Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren pemuda kurus, tidak berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng. Sesampainya di depan pintu rumah Kiai Kholil, lalu mengucap salam âAssalamu âalaikum,â ucapnya agak pelan dan sangat sopan.

Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai malah berteriak memanggil santrinya, âHey santri semua, ada macan.. macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok.â Seru Kiai Kholil bak seorang komandan di medan perang.

Mendengar teriakan Kiai kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Kiai Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya. Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.

Secara tidak diduga, tengah malam Kiai Kholil datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Kiai Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai santri Kiai Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Kiai Kholil.[7]

3. KETINGGALAN KAPAL LAUT

Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Makkah, semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya :

âPak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,â ucap istrinya dengan memelas.

âBaik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,â jawab suaminya sambil bergegas di luar kapal.

Setelah suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.

Disaat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: âDatanglah kamu kepada Kiai Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu !â ucapnya dengan tenang.

âKiai Kholil?â pikirnya.

âSiapa dia, kenapa harus kesana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?â begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.

âSegeralah ke Kiai kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah.â Lanjut orang itu menutup pembiocaraan.

Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya :

âAda keperluan apa?â

Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Kiai Kholil.

Tiba-tiba Kiai berkata :

âLho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!â

Lalu suami itu kembai dengan tangan hampa.

Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Kiai Kholil lalu bertanya: âBagaimana? Sudah bertemu Kiai Kholil ?â

âSudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhanâ katanya dengan nada putus asa.

âKembali lagi, temui Kiai Kholil !â ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu. Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Kiai Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ke tiga kalinya, Kiai Kholil berucap, âBaik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.â[8]

âTerima kasih Kiai,â kata sang suami melihat secercah harapan.

âTapi ada syaratnya.â Ucap Kiai Kholil.

âSaya akan penuhi semua syaratnya.â Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.

Lalu Kiai berpesan: âSetelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?â pesan dan tanya Kiai seraya menatap tajam.

âSanggup, Kiai, â jawabnya spontan.

âKalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,â Kata Kiai Kholil.

Lalu sang suami melaksanakan perintah Kiai Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal lalu yang sedang berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal.

âIni anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekaliâ dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal. Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selam hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang alalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.

4. SANTRI MIMPI DENGAN WANITA.


Dan diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa sholat subuh berjamaah. Ketidak ikutsertaan Bahar sholat subuh berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil, istri gurunya[9].

Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap:

âSantri kurang ajar.., santri kurang ajar..â[10]

Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu. Subuh itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid.

Seusai sholat subuh berjamaah, Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya :

âSiapa santri yang tidak ikut berjamaah?â Ucap Kiai Kholil nada menyelidik.

Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada bahar seraya berkata:

âBahar, karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok iniâ Perintah Kiai Kholil. Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput. Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik[11].

âAlhamdulillah, sudah selesai, Kiai.â Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati.

âKalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis.â Perintah Kiai kepada Bahar.

Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia. Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap:

âHai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini.â Ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang dan mantap santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju kampung halamannya.

Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang sangat alim, yang memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kia beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sido Giri, Pasuruan, Jawa Timur.

5. KIAI KHOLIL MASUK PENJARA


Diantara karomahnya dikisahkan:

Beberapa pelarian pejuang kemerdekaan dari Jawa bersembunyi di Pesantren Kiai Kholil. Kompeni Belanda rupanya mencium kabar itu. Tentara Belanda berupaya keras untuk menangkap para pejuang kemerdekaan yang bersembunyi itu. Rencana penangkapan diupayakan secepat mungkin, setelah yakin bersembunyi di pesantren, tentara belanda memasuki pesantren Kiai Kholil. Seluruh pojok pesantren digerebek. Ternyata tidak menemukan apa-apa. Hal itu membuat kompeni marah besar. Karena kejengkelannya, akhirnya membawa pimpinan pesantren, yaitu Kiai Kholil untuk ditahan. Dengan siasat ini, mereka berharap ditahannya Kiai Kholil, para pejuang segera menyerahkan diri. Ketika Kiai Kholil dimasukkan ke dalam tahanan, maka beberapa perisriwa ganjil mulai muncul. Hal ini membuat susah penjajah Belanda. Mula-mula ketika Kiai Kholil masuk ke dalam tahanan, semua pintu tahanan tidak bisa ditutup. Dengan demikian pintu tahanan dalam keadaan terbuka terus menerus. Kompeni Belanda harus berjaga siang dan malam secara terus menerus. Sebab jika tidak, maka tahanan bisa melarikan diri. Pada hari berikutnya, sejak Kiai Kholil ditahan, ribuan orang Madura dan Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan ke Kiai Kholil. Kejadian ini membuat kompeni merasa kewalahan mengatur orang sebanyak itu. Silih berganti setiap hari terus menerus. Akhirnya, kompeni membuat larangan berkunjung ke Kiai Kholil. Pelarangan itu, rupanya tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat justru datang setiap harinya semakin banyak. Para pengunjung yang bermaksud berkunjung ke Kiai Kholil bergerombol di sekitar rumah tahanan. Bahkan, banyak yang minta ditahan bersama Kiai Kholil. Sikap nekad para pengunjung Kiai Kholil ini jelas membuat Belanda makin kewalahan. Kompeni merasa khawatir, kalau dibiarkan berlarut larut suasana akan semakin parah. Akhirnya, daripada pusing memikirkan hal yang sulit dimengerti oleh akal itu, kompeni belanda melepaskan Kiai Kholil begitu saja.

Setelah kompeni mengeluarkan Kiai Kholil dari penjara, baru semua kegiatan berjalan sebagaimana biasanya. Demikian juga dengan pintu penjara, sudah bisa ditutup kembali serta para pengunjung yang berjubel disekitar penjara, kembali pulang kerumahnya masing-masing.

6. RESIDEN BELANDA


Dan diantara karomahnya, suatu hari, Residen Belanda yang ditempatkan di Bangkalan mendapat surat yang cukup mengejutkan dari pemerintah Colonial Belanda di Jakarta. Surat tersebut berisi tentang pemberhentian dirinya sebagai Residen di Bangkalan. Padahal jabatan itu masih diinginkan dalam beberapa saat. Residen itu berkata dengan Residen belanda yang lainnya. Hati nurani Residen yang satu ini tidak pernah menyetujui penjajahan oleh negaranya. Untuk mempertahankan posisinya, Residen belanda yang simpati kepada bangsa Indonesia mau berkorban apa saja asalkan tetap memangku jabatan di Bangkalan, Kebetulan sang Residen mendengar kabar bahwa di Bangkalan ada orang yang pandai dan sakti mandraguna[12]. Tanpa pikir panjang lagi, sang Residen segera pergi untuk menemui orang yang diharapkan kiranya dapat membantu mewujudkan keinginannya itu.

Maka, berangkatlah sang Residen itu ke Kiai Kholil dengan ditemani beberapa kolegannya. Sesampainya di kediaman Kiai Kholil, sang Residen Belanda langsung menyampaikan hajatnya itu. Kiai Kholil tau siapa yang dihadapinya itu, lalu dijawab dengan santai seraya berucap :

âTuan, selamat.., selamat.., selamat..â Ucapnya dengan senyuman yang khas. Residen Belanda merasa puas terhadap jawaban Kiai Kholil dan setelah itu berpamitan pulang.

Selang beberapa hari setelah kejadian itu, sang Residen menerima surat dari pemerintah Belanda yang isinya pencabutan kembali surat keputusan pemberhentian atas dirinya. Betapa senangnya menerima surat itu. Dengan demikian, dirinya masih tetap memangku jabatan di daerah Bangkalan.

Sejak peristiwa itu, Kiai kholil diberi kebebasan melewati seluruh daerah Bangkalan. Bahkan, Kiai Kholil bisa menaiki dokar seenaknya melewati daerah terlarang di Keresidenan Bangkalan tanpa ada yang merintanginya. Baik residen maupun aparat Belanda semuanya menaruh hormat kepada Kiai Kholil. Seorang Kiai yang dianggap memiliki kesaktian luar biasa.

7. SURAT KEPADA ANJING HITAM


Musim haji telah tiba. Sebagaimana biasanya, penduduk daerah Bangkalan yang akan menunaikan ibadah haji terlebih dahulu sowan kepada Kiai Kholil. Fulan calon jamah haji Bangkalan. Menjelang keberangkatannya, terlebih dahulu menyempatkan sowan ke Kiai Kholil. Kiai, ketika melihat diantara tamu terdapat si Fulan, maka segera menyuruh mendekat.

âFulan, ini surat. Sesampainya di Masjidil Haram, berikan surat ini kepada anjing hitam.â Pesan Kiai kepada si Fulan dengan datar.

âYa, Kiai. Saya akan menyampaikan surat ini.â Jawab si Fulan tanpa berani menatap dan bertanya kenapa Kiai menyuruh demikian. Sesusai sowan kepada Kiai, Fulan langsung pulang ke rumahnya. Berbagai kecamuk dan pertanyaan dibenakknya.

Hari keberangkatan pun tiba. Dengan niat yang ikhlas, Fulan berangkat ke tanah suci. Sesampainya di Makkah, Fulan menunaikan Ibadah hajinya dengan baik. Sungguhpun demikian, Fulan belum tenang kalau amanat yang dipesankan Kiai Kholil belu dilaksanakan. Segera fulan pergi ke halaman Masjidil Haram, terdorong karena patuhnya kepada Kiai Kholil, ingin segera menyampaikan pesan yang sangat aneh ini. Tapi bagaimana caranya?

Tak disangka, ditengah keasyikannya merenung itu. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, didepannya sudah berdiri seekor anjing hitam. Tanpa pikir panjang lagi, Fulan segera meraih surat yang ada di sakunya. Seketika itu juga, disodorkannya surat itu kepada anjing hitam. Telinga anjing itu bergerak-berak, lalu menggigit surat itu pelan-pelan. Beberapa saat anjing itu menatap tajam wajah si Fulan seolah-olah ingin mengungkapkan rasa terima kasih. Setelah itu dengan langkah tenang dan wibawa, sang anjing hitam itu meninggalkan Fulan yang masih terpana. Dipandangnya anjing itu hingga tidak terlihat lagi dari pandangan mata Fulan.

Fulan merasa lega. Sebab, amanat yang tidak dipahami itu sudah ditunaikan. Waktu pun bergulir hingga selesailah ibadah Rukun Islam yang kelima itu. Semua jamaah haji seantero dunia pulang ketanah airnya masing-masing begitu pula dengan fulan pulang ke Bangkalan.

Bagi fulan, sungguhpun sudah selesai ibadah haji, namun kecamuk surat misterius itu masih melekat di benaknya. oleh sebab itu, setibanya di Bangkalan, pertama kali yang ditemuinya adalah Kiai Kholil.

âSudah disampaikan surat saya, Fulan?â Kata Kiai menyambut kedatangan Fulan.

âSudah, Kiai.â Tegas fulan lega. âTapi, Kiai..â Kata fulan agak tersendat-sendat

âAda apa Fulan?â Kata Kiai Kholil tanpa menunjukkan ekspresi yang aneh. âKalau boleh Tanya, kenapa Kiai mengirim surat kepada anjing hitam?â Tanya si Fulan terheran-heran.

âFulan, yang kamu temui itu bukan sembarang anjing. Dia adalah salah seorang wali Allah yang menyamar sebagai anjing hitam yang menunaikan Ibadah haji tahun ini.â Jelas sang Kiai.

Mendengar keterangan Kiai Kharismatik itu, si Fulan baru memahami dan menyadari apa yang ada dibalik peristiwa itu. Dan sifulan pun hanya bisa menganggut sambil mengenang saat sang anjing berhadapan dengan dirinya.

8. ORANG ARAB DAN MACAN TUTUL


Dan diantara karomahnya, suatu hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil mengimami jamaah sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya Habib[13].

Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil menemui tamu-tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu. Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab[14], habib tadi menghampiri Kiai Kholil seraya berucap :

âKiai, bacaan Al-Fatihah antum (anda) kurang fasih.â Tegur Habib.

âO.. begitu?!â Jawab Kiai Kholil dengan tenang.

Setelah berbasa-basi beberapa saat. Habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat magrib. âTempat wudlu ada di sebelah masjid itu, Habib. Silahkan ambil wudlu di sana.â Ucap Kiai sambil menunjukkan arah tempat wudlu. Baru saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya, yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan Bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga.

Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudlu Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh.

Dengan kejadian ini, Habib paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.

9. TONGKAT KIAI KHOLIL DAN SUMBER MATA AIR


Dan diantara karomahnya, pada suatu hari. Kiai Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lobang bekas tancapan Kiai Kholil, memancarlah sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan karena terus membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Lebih dari itu; sumber mata airnya dapat menyembuhkan pelbagai macam penyakit[15].

Kolam yang bersejarah itu, sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah selatan kompleks pemakaman Kiai Kholil Bangkalan. Banyak orang yang datang dari jauh hanya sekedar untuk minum dan mandi. Mereka yakin bahwa air yang ada di sumber mata air di Langgundi itu, adalah jejak karomah-karomah Kiai Kholil yang diyakini membawa berkah.

[1] âKaraamahâ merupakan mashdar dari âkarumaâ, maka âkaraamahâ berarti kemuliaan, yakni kemuliaan yang diberikan oleh Allah pada seorang shaleh yang dicintai-Nya.

[2] Sebernarnya karomah hanyalah sebuah istilah, sebagaimana muâjizat diistilahkan untuk Nabi.

[3] Khoriqun lilâadah: luar biasa. Sebenarnya banyak hal luar biasa yang terkadang kurang dianggap luar biasa oleh kebanyakan orang, sehingga banyak karomah yang dimiliki oleh para ulama tapi tidak dipandang sebagai karomah. Misalnya karya ilmiyah keislaman. Suatu contoh Al-Imam An-Nawawi dan Al-Imam As-Suyuthi, dengan umur yang relatif sedikit mereka telah mampu menulis kitab puluhan ribu halaman pada zaman belum ada alat tulis yang cukup. Dengan kondisi seperti itu, akal kita tidak akan mampu menggambarkan bagaimana mereka menulis kitab sebanyak itu, dan itu berarti semua itu adalah luar biasa. Maka tentu saja keluarbiasaan itu sangat layak untuk disebut karomah, bahkan lebih layak daripasa sekedar bisa terbang dan sebagainya. Dari itu dalam catatan kaki ini saya lebih menekankan pada pemahaman bahwa karomah berupa karya ilmu dan pendidikan itu lebih utama daripada karomah yang âaneh-anehâ, dan Syekh Kolil memiliki âkaromah utamaâ itu. Saya tidak mau ada yang mengatakan bahwa Syekh Kholil hanya dikagumi oleh orang awam yang suka dengan cerita-cerita aneh. Syekh kholil memiliki keistimewaan yang patut dikagumi oleh kaum ulama, intelektual, budayawan dan kalangan apapun yang mendahulukan ilmu dan pendidikan. Syekh Kholil memiliki prestasi yang tidak masuk akal dalam dunia pendidikan, ribuan pesantren didirikan oleh ribuan ulama hasil didikan beliau. Angka yang tidak masuk akal itu menjadi lebih menakjubkan karena yang dihitung adalah wujud kesuksesan dalam pendidikan dan daâwah Islam, prestasi yang paling tinggi dalam dunia ibadah dengan angka yang luar biasa. Inilah karomah tertinggi Syekh Kholil, sehingga seandainya beliau tidak memiliki karomah yang aneh-aneh maka hal itu sama sekali tidak mengurangi bukti âkewalianâ beliau. Dengan ribuan pesantren itu kita tidak perlu mencari cerita aneh beliau untuk membuktikan bahwa beliau adalah kekasih Allah.

[4] Saifur Rachman, Surat kepada Anjing Hitam, Pustaka Ciganjur cetakan pertama tahun 1999, halaman 31-32.

[5] Maksudnya kebetulan Syekh Kholil sedang mengajar kitab nahwu. Sebagian orang menganggap pelajaran nahwu itu sebagai pelajaran tersulit, sehingga terkesan bahwa orang yang paling alim adalah yang paling ahli nahwu. Padahal nahwu hanyalah pelajaran bahasa yang berarti pelajaran tahap awal bagi yang ingin dapat membaca dan berbicara bahasa Arab. Ketika Syekh Kholil sering disebut-sebut sebagai ahli Nahwu, maka sebagian orang yang menganggap ilmu nahwu tidak terlalu rumit merasa Syekh Kholil tidak luar biasa jika hanya karena ilmu nahwu. Maka dari itu, saya ingin tegaskan bahwa ilmu nahwu bagi Syekh Kholil bukan âilmu pamungkasâ. Beliau mendapatkan derajat tinggi bukan karena beliau dikenal dengan ilmu nahwunya, karena ilmu nahwu sifatnya hanya ilmu alat dan perantara. Beliau mendapatkan derajat tiggi karena ilmu yang utama, yaitu ilmu mengenal Allah dan syariâat-Nya. Ketika diceritakan bahwa Syekh Kholil sangat pakar dalam ilmu nahwu, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kalau ilmu alatnya saja beliau begitu menekuni sampai paham setiap permasalahannya dan hafal di luar kepala, maka apalagi dengan ilmu syariâatnya, tentulah beliau lebih luas lagi dalam ilmu syariâat yang beliau anggap sebagai tujuan utama.

[6] Ada yang bertanya mengapa Syekh Kholil tidak menggunakan ayat-ayat Al-Qurâan atau doa-doa maâtsurat saja, mengapa beliau menggunakan kalimat yang justru tidak ada hubungannya dengan permasalahan, tidakkah itu termasuk bidâah? Maka untuk pertanyaan itu saya jawab dengan berikut:

1. Syekh Kholil sedang membahas lafazh âqoma zaidunâ maka beliau bermaksud bergurau dengan santri-santri beliau yang sedang tegang mempelajari ilmu nahwu, karena tamu-tamu itu adalah para petani yang tidak mengerti arti âqoma zaidunâ. Dari sini kita dapat menilai karakter Syekh Kholil, berarti beliau seorang ulama yang berwibawa dan terkadang humoris, sebuah karakter yang disukai banyak orang.

2. âQoma zaidunâ yang diucapkan Syekh kholil adalah merupakan bahasa kinayah, di mulut beliau menyebut âzaidunâ akan tetapi di hati beliau bermaksud âpencuri timunâ, sedangkan jumlah fiâil-faâil dimaksudkan âjumlah duâaiyyahâ. Maka artinya adalah âsemoga pencuri timun itu berdiri.â

3. Para petani dibiarkan membaca âqoma zaidunâ karena mereka memang tidak mengerti bahasa Arab, maka sudah pasti ketika mereka membaca âqoma zaidunâ maka di hati mereka bermaksud berdoa sebagaimana doa Syekh Kholil. Maka ketika para petani membaca âqoma zaidunâ, sebenarnya bacaan itu berarti mengamin doa Syekh Kholil, seolah-olah mereka berkata âsaya berdoa sebagaimana doa Syekh Kholilâ. Dan wajarlah kalau Allah-pun mendengar doa Syekh Kholil yang diamini oleh para petani itu.

Dengan demikian, maka tidak ada kejanggalan dari cerita diatas untuk dihujat sebagai bidâah. Ini adalah analisa saya, berangkat dari husnuzhon saya kepada ulama semisal Syekh Kholil. Sesuai dengan ajaran Rasulullah:

ÙÙÙÙ ÙÙاÙÙÙÙؤÙÙÙÙÙ ÙÙØ·ÙÙÙب٠اÙÙÙÙعÙاذÙرÙØ ÙÙÙاÙتÙÙÙÙÙ ÙÙاÙÙÙÙÙÙاÙÙÙÙ ÙÙØ·ÙÙÙب٠اÙÙÙÙعÙاÙÙبÙ

âJadilah sebagai orang mukmin yang selalu mencari alasan baik. Dan janganlah menjadi sebagai orang munafiq yang suka mencari aib.â

[7] Banyak terjadi perlakuan aneh dari Ulama zaman dahulu, baik pada santri maupun tamu. Dalam cerita diatas kita dapat menebak bahwa apa yang dilakukan Syekh Kholil adalah merupakan firasat dan memberi ujian. Syekh memiliki firasat tentang pemuda Wahab Hasbullah, kemudian beliau bermaksud menguji kesungguhan pemuda itu untuk belajar pada beliau. Hal seperti ini dapat terjadi antara guru dan murid yang memiliki hubungan kecintaan kepercayaan yang kuat. Makanya tidak ada seorang kiai yang menguji diluar kemuampuan muridnya, terbukti sang murid lulus walaupun terkadang ujiannya tidak masuk akal. Bagi orang yang belum pernah merasakan kecintaan dan kepercayaan yang kuat terhadap guru, hal seperti ini bisa saja dianggap berlebihan. Akan tetapi fakta membuktikan bahwa semua ulama besar tidak sekedar dibesarkan oleh ilmu yang dipelajari dari gurunya, melainkan lebih dibesarkan oleh keberkahan berkat cinta dan percaya yang amat kuat kepada gurunya.

[8] Suami itu sebenarnya tidak paham yang dimaksud minta tolong kepada Syekh Kholil, dia pikir Syekh Kholil dapat menolongnya secara tehnis, sedangkan yang dimaksud oleh orang yang menunjukkan tadi adalah meminta doa kepada beliau. Ketika suami itu datang kepada Syekh Kholil minta tolong maka Syekh Kholil memberi saran untuk menghubungi pihak pelabuhan. Kedatangan sang suami kepada Syekh Kholil sampai tiga kali bukan karena Syekh Kholil pelit atau tidak tahu apa yang harus beliau lakukan, makanya saya kurang sreg dengan kalimat âkarena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.â Saya rasa itu hanya gubahan penulis atau perawi. Syekh Kholil pasti tahu sejak awal bahwa sang suami itu ingin sekali menyelesaikan masalahnya, beliau tidaklah baru menyadari setelah kedatangan yang ketiga. Siapa yang mengaggap problem sang suami itu tidak serius?! Syekh Kholil tidak langsung berdoa sejak kedatangan pertama karena memang sang suami itu tidak minta doa, dan sebagai orang yang tawadhuâ, beliau tidak langsug menawarkan doa, karena menawarkan doa bisa saja terkesan menganggap dirinya punya doa manjur. Dari situ kita dapat melihat ketawadhuâan Syekh Kholil, baik di hadapan Allah maupun di hadapan manusia. Hal ini berbeda dengan âkiai dukunâ yang justru pasang iklan seoalah-olah berkata: âMintalah doa pada saya, karena doa saya manjur.â Inilah yang membedakan antara âkiai waliâ dengan âkiai dukunâ, yaitu tawadhuâ di hadapan Allah dan di hadapan manusia.

[9] Bermimpi seseorang wanita tidak harus sering atau habis memikirkannya sebelum tidur, maka jangan sampai mengira bahwa mungkin saja Kiai Bahar memikirkan istri gurunya sebelum tidur.

[10] Kemarahan Syekh Kholil bukan karena Kiai Bahar bersalah sebab mimpi itu, melainkan semacam hardikan agar Kiai Bahar melupakan mimpi itu, agar tidak diingat lagi walaupun untuk menyesalinya.

[11] Tugas itu sebenarnya bukan hukuman, Syekh Kholil menyebutnya hukuman untuk tidak membuat bingung santri-santri yang lain, sehingga di mata mereka, Bahar dihukum karena tidak shalat berjamaah. Adapun sebenarnya itu adalah ujian sebagaimana yang juga sering diberikan pada murid lainnya.

[12] Sakti mandraguna menurut paham sang Residen, karena ia tidak mengerti soal wali dan karomah.

[13] Ada suatu kesalahan yang banyak dipahami oleh orang awam, baik di Madura maupun di Jawa, mereka pikir semua orang Arab itu âHabibâ. Habib adalah julukan yang diberikan oleh orang Yaman terhadap keturunan Rasulullah. Kemudian julukan ini menjadi populer juga di berbagai negara, walaupun sebenarnya hanya lebih populer di kalangan Habib dari Yaman sendiri atau yang mengenalnya. Dalam menjuluki Habib, orang Madura atau Jawa -yang paham maksudnya- sebenarnya hanya ikut-ikutan orang Yaman saja, itu juga dipakaikan pada Habib yang berasal dari Yaman atau yang masih kental keâYamanâanya. Orang Madura atau Jawa sebenarnya tidak punya julukan khusus untuk keturunan Rasulullah secara umum, maka dari itu mereka tidak menjuluki Syekh Kholil dan sebagainya dengan âHabibâ walaupun tahu bahwa mereka juga cucu Rasulullah. Bagi Mereka, Habib adalah curu Rasululullah yang di Arab atau yang masih menggunakan kebangsaan Arab. Dalam cerita ini, mengingat sebagian orang Madura menganggap semua orang Arab itu Habib, maka hendaknya dimaklumi bahwa Habib dalam cerita ini belum tentu Habib yang sebenarya, mungkin saja orang Arab biasa. Kalaupun ternyata memang Habib sebenarnya, hendaknya dimaklumi bahwa cerita ini tidak menyimpulkan bahwa ada seorang bahngsa Sayyid dikalahkan seorang bangsa Madura, karena sebenarnya Syekh Kholil juga bangsa Sayyid yang telah njawani sejak dari leluhurnya.

[14] Sebenarnya tidak semua orang Arab fasih tajwidnya, baik yang di Indonesia maupun yang di Arab sekalipun, kecuali yang memang belajar tajwid. Saya jadi teringat waktu ngobrol dengan Sayyid Anis Bin Syihab Malang, beliau berkata dengan nada berkelakar: âWatak orang Arab itu memang PD-an, kalau mereka datang ke kampung-kampung kemudian disuruh jadi imam langsung aja maju, padahal baca Qurâannya masih bagus orang Jawa.â Yakni orang Jawa kampung yang pada umumnya belajar tajwid sejak kecil.

[15] Apabila air itu benar-benar terbukti pernah menyembuhkan penyakit seseorang, maka ada dua kemungkinan bagaimana proses kemujaraban air itu. Pertama, mungkin air itu memang mengandung zat yang berguna untuk penyembuhan, maka berarti air itu dapat menyembuhkan secara medis, walaupun tidak ada yang megerti tentang hal itu. Namun bukan berarti tidak ada hubungannya dengan karomah Syekh Kolil, melainkan ketika Syekh Kholil menemukan sumber itu maka berarti beliau telah melakukan hal yang luar biasa. Kedua, mungkin air itu hanya air biasa, namun air itu menjadi mujarab berkat Syekh Kholil. Adapun prosesnya adalah dengan tabarruk, yakni memohon berkah kepada Allah dengan perantara benda bekas orang shaleh. Ketika seseorang datang dan meminum air Kolla Al-Asror, mereka berkeyakinan bahwa Kolla itu adalah peninggalan Syekh Kholil yang mereka yakini sebagai orang shaleh kekasih Allah. Mereka bertabarruk dengan air kolla itu sebagaimana yang dibenarkan oleh Syariâat Islam.

Masalah Tabarruk

Masalah ini perlu saya bahas agar tidak ada yang salah paham mengenai cerita diatas. Tabarruk adalah bagian daripada tawassul, yaitu mengambil perantara didalam berdoa kepada Allah. Yang dimaksud mengambil perantara adalah merayu Allah dengan menyebut-nyebut orang yang dicintai Allah. Ketika seseorang bertawassul dengan Nabi, misalnya, maka seolah-olah ia berkata: âYa Allah, kalau Nabi saja aku cintai karena beliau kekasih-Mu, maka apalagi Engkau, tentu Engkau lebih aku cintai. Maka berkat cinta ini kabulkanlah doakuâ. Itulah yang dimaksud tawassul. Adapun tabarruk adalah bertawassul dengan menyentuh benda-benda yang berhubungan dengan kekasih Allah. Maka tabarruk masih dalam rentetan tawassul. Ketika seseorang bertabarruk dengan baju bekas orang shaleh, misalnya, maka seolah-olah ia berkata: âYa Allah, kalau baju bekas orang shaleh saja aku cintai, apalagi orang shaleh yang punya baju. Dan karena aku mencintai orang shaleh itu karena dia adalah kekasih-Mu, maka apalagi Engkau, tentu Engkau lebih aku cintai. Maka berkat cinta ini kabulkanlah doaku.â

Orang yang menentang tawassul dan tabarruk itu sebenarnya disebabkan karena ia tidak mengerti tentang dua hal, yaitu tidak mengerti maksudnya dan tidak mengerti bahwa Syariâat Islam mengajarkan tawassul dan tabarruk sebagai salah satu cara beribadah.

Tawassul diajarkan dalam Syariâat Islam, diantara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:

1. Allah SWT berfiran:

ÙÙا Ø£ÙÙÙÙÙÙا اÙÙÙØ°ÙÙÙÙ٠آÙÙÙÙÙا اتÙÙÙÙÙا اÙÙÙÙ ÙÙابÙتÙغÙÙÙا Ø¥ÙÙÙÙÙÙ٠اÙÙÙÙسÙÙÙÙÙØ©Ù..

âWahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan ambillah perantara kepadaNya..â (Q.S. Al-Maidah : 35)

2. Allah SWT berfirman:

Ø£ÙÙÙÙئÙÙ٠اÙÙÙØ°ÙÙÙÙÙ ÙÙدÙعÙÙÙÙÙ ÙÙبÙتÙغÙÙÙÙ٠إÙÙÙÙÙÙ٠اÙÙÙÙسÙÙÙÙÙØ©Ù

âMereka adalah orang-orang yang berdoa dengan mengambil perantara kepada Tuhan mereka.â (Q.S. Al-Israâ : 57).

3. Allah berfirman:

.. ÙÙÙÙاÙÙÙÙا ÙÙÙÙ ÙÙبÙÙÙ ÙÙسÙتÙÙÙتÙØ­ÙÙÙÙ٠عÙÙ٠اÙÙÙØ°ÙÙÙÙÙ ÙÙÙÙرÙÙÙا ÙÙÙÙÙÙÙا جÙاءÙÙÙÙÙ ÙÙا عÙرÙÙÙÙÙا ÙÙÙÙرÙÙÙا بÙÙÙ ..

â.. Dan adalah mereka sebelumnya telah memohon (kepada Allah) akan kemenangan atas orang-orang kafir. Dan ketika datang apa yang mereka kenal itu merekapun kemudian mengingkarinya. ..â (Q.S. Al-Baqarah : 89)

Kata Sahabat Abdullah bin Abbas, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ktasir dalam Tafsirnya, Yang dimaksud ayat itu adalah orang Yahudi Khaibar, ketika berperang dengan orang-orang Ghathfan, mereka terdesak dan kemudian berdoa kepada Allah berta-wassul dengan Nabi akhir zaman. Akan tetapi setelah Rasulullah muncul mereka malah mengingkari beliau. Riwayat ini menyimpulkan bahwa Allah membenarkan orang yang bertawassul dengan orang shaleh walaupun ia belum lahir, apabila kelahiranya telah dikabarkan oleh Allah.

4. Ketika memakamkan ibu Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang bernama Fathimah binti Asad, Rasulullah turun sendiri ke liang lahat kemudian memuji Allah dan berdoa:

اÙغÙÙÙر٠ÙÙØ£ÙÙÙÙÙÙ ÙÙاطÙÙÙة٠بÙÙÙت٠أÙسÙد٠ÙÙÙÙÙÙÙÙÙÙÙا Ø­ÙجÙÙتÙÙÙا ÙÙÙÙسÙÙع٠عÙÙÙÙÙÙÙا ÙÙدÙØ®ÙÙÙÙÙا بÙØ­ÙÙÙÙ ÙÙبÙÙÙÙÙÙ ÙÙاÙØ£ÙÙÙبÙÙÙاء٠ÙÙÙÙ ÙÙبÙÙÙÙÙ ..

âAmpunilah ibuku, Fathimah binti Asad, dan tuntunlah ia akan hujjahnya (jawaban pertanyaan kubur) dan lapangkanlah tempatya, dengan kebenaran Nabi-Mu dan Nabi-Nabi sebelumku..â (H.R. Ath-Thabrani dan Ad-Dailami, dinyatakkan shahih oleh Al-Haitsami)

Hadits ini menyimpulkan bahwa tawassul dengan orang shaleh yang telah meninggal itu juga diajarkan oleh Rasulullah, karena para Nabi yang ditawassuli oleh beliau telah meninggal semua.

5. Al-Imam Ath-Thabrani meriwayatkan dalam kedua kitabnya, âAl-Muâjam Al-Kabirâ (9/17) dan âAl-Muâjam Ash-Shaghirâ (hal. 201), bahwa Sahabat Utsman bin Hunaif meriwayatkan, bahwa suatu ketika ada seseorang yang datang menemui Khalifah Utsman bin Affan, orang itu datang dengan suatu keperluan, akan tetapi (mungkin karena sibuk dengan suatu masalah) Khalifah tidak menaggapinya. Mak` Utsman bin Hunaif berkata kepadanya:

âBerwudhuâlah dan shalat dua rakaâat, kemudian bacalah:

اÙÙÙÙÙÙÙÙ٠إÙÙÙÙÙ٠أÙتÙÙÙسÙÙÙ٠إÙÙÙÙÙÙÙ ÙÙØ£ÙتÙÙÙجÙÙÙ٠إÙÙÙÙÙÙ٠بÙÙÙبÙÙÙÙÙÙا ÙÙØ­ÙÙÙÙد٠ÙÙبÙÙÙ٠اÙرÙÙØ­ÙÙÙØ©ÙØ ÙÙا ÙÙØ­ÙÙÙÙد٠إÙÙÙÙÙ٠أÙتÙÙÙجÙÙÙ٠بÙÙ٠إÙÙ٠اÙÙÙÙ ÙÙÙÙ Ø­ÙاجÙتÙÙÙ ÙÙتÙÙÙض٠ÙÙÙÙ

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepadamu dengan Nabi kami, Muhammad Nabi rahmat. Wahai Nabi Muhammad, denganmu aku menghadap Tuhanku dalam urusan keperluanku ini agar dipenuhinya.

Kemudian kembalilah menemui Khalifah.â

Orang itupun melakukan himbauan Utsman bin Hunaif kemudian kembali mendatangi Khalifah Utsman bin Affan. Begitu menemui pengawal ia langsung dibawa masuk dan Khalifah mempersilahkan dia duduk di dekatnya, iapun ditanya apa keperluannya dan Khalifahpun langsung memenuhinya. Seberanjaknya dari Khalifah, orang itu langsung menemui Utsman bin Hunaif dan berkata: âSemoga Allah membalas jasamu dengan baik. Semula Khalifah sama sekali tidak mempedulikanku, bahkan tidak mau menoleh sedikitpun paadaku, sampai engkau membantuku dengan berbicara padanya.â Orang itu mengira Utsman bin Hunaif telah memberi rekomendasi pada Khalifah Utsman bin Affan. Maka Utsman bin Hunaif berkata: âDemi Allah, aku tidak berbicara apa-apa pada Khalifah, akan tetapi aku pernah menyaksikan Rasulullah SAW ketika didatangi seseorang mengadukan matanya yang buta. Rasulullah berkata: âKalau kau mau maka kau bisa bersabar, dan kalau kau mau maka aku akan mendoakanmu.â Orang itu menjawab: âYa Rasulallah, kebutaan ini menyulitkan saya, karena saya tidak punya siapa-siapa untuk menuntun saya.â Maka Rasulullah SAW bersabda: âBerwudhuâlah dan shalatlah dua rakaâat kemudia berdoalah .. dst.â Yaitu doa diatas. Utsman bin Hunaif melanjutkan dan berkata: âOrang itupun melakukan apa yang diajarkan Rasulullah SAW. Dan demi Allah, tidak beberapa lama kemudian orang itupun kembali dengan keadaan dapat melihat, seolah-olah matanya tidak pernah sakit sama sekali.â

Riwayat ini menyimpulkan dua hal:

Pertama, bahwa bertawassul dengan orang shaleh yang hidup dan memanggil namanya dari jauh itu tidak apa-apa, walaupun yang ditawassuli tidak mendengar panggilannya, karena dalam riwayat diatas Utsman bin Hunaif berkata âtidak beberapa lama orang itupun kembali dengan keadaan dapat melihatâ, maka berarti orang itu membaca doa tawassul yang ada kalimat âya Rasulullahânya tidak di hadapan Rasulullah SAW.

Kedua, bahwa bertawassul dengan orang shaleh yang telah meninggal dunia itu tidak apa-apa, karena cerita diatas terjadinya pada zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Rasulullah SAW telah meninggal dunia.

6. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua karena tiba-tiba ada batu besar terjatuh dari atas gunung dan menutup pintu gua itu. Kemudian mereka bertawassul dengan menyebut amal shaleh mereka masing-masing, sehingga batu itupun bergeser dan terbukalah pintu gua. Hadits ini menyimpulkan bahwa bertawassul dengan amal shaleh juga diajarkan oleh Rasulullah SAW.

7. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah mencukur rambut untuk tahallul haji, kemudian rambut itu beliau serahkan pada Sahabat Thalhah untuk dibagikan pada Sahabat-sahabat yang lain. Maka para sahabatpun berebut rambut Rasulullah, tentu saja untuk ngalap berkah (tabarruk), karena rambut tidak bisa dimakan. Diantara mereka ada yang mencelup rambut Rasulullah ke dalam air kemudian airnya diminumkan pada orang sakit.

8. Al-Hafizh Ibnu Hajar meriwayatkan dalam kitabya, âAl-Mathalib Al-âAliyahâ (4/90), bahwa Sahabat Khalid bin Al-Walid berebut rambut Rasulullah ketika bercucukur untuk tahallul umroh, kemudian rambut itu segera ia selipkan di kopiahnya. Khalid berkata: âDalam memimpin setiap pertempuran aku selalu menang tanpa cedera sedikitpun apabila aku memakai kopiah yang ada rambut Rasulullah itu.â Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Abu Yaâla serta dinyatakan shahih oleh Al-Haitsami dan Al-Bushiri.

9. Al-Imam Muslim meriwayatkan, bahwa Asmaâ binti Abi Bakar memiliki jubah Rasulullah dan beliau berkata: âJubah ini dulunya ada pada Aisyah, setelah ia meninggal akupun mewarisinya. Jubah itu pernah dipakai oleh Rasulullah SAW. Maka kamipun suka merendam jubah itu ke dalam air dan airnya kami minumkan pada orang sakit untuk mengharap kesembuhan.

Ketiga hadis terakhir ini menyimpulkan bahwa Rasulullah membenarkan tabarruk dengan benda bekas orang shaleh. Dan masih banyak lagi Hadits-hadits shahih yang meriwayatkan tentang bagaimana para Sahabat bertabarruk dengan benda-benda bekas Nabi yang lain, seperti potongan kuku, bekas air wudhu dan sebagainya.

Kesimpulannya, tawasul dan tabarruk itu diajarkan oleh syariâat. Tawassul boleh dengan Amal shaleh, dengan Nabi, Malaikat dan orang-orang shaleh, baik mereka belum lahir, masih hidup maupun telah meninggal dunia. Sejak zaman Sahabat Nabi, semua ulama sepakat akan hal itu, tidak ada yang berbeda pendapat sampai muncullah seorang bernama Ibnu Taimiyah, iapun banyak menimbulkan masalah dengan pendapat-pendapat kontrofersialnya, termasuk pendapatnya bahwa tawassul dengan orang yang telah meninggal itu termasuk jenis syirik. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah pernah melakukan kebohongan dengan mengatakan bahwa tidak ada ulama yang membolehkan tawassul dengan orang yang telah meninggal, seperti yang ia tulis dalam kitab âAt-Tawassul wal-Wasilahâ (hal.24). Padahal dalam kitabnya yang lain, yaitu âAl-Fatawa Al-Kubraâ (1/351), Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayatnya membolehkan tawassul dengan Nabi.

Diantara Hadits tawassul, mereka hanya mau menerima riwayat Utsman bin Hunaif saja sebagai Hadits yang benar-benar shahih, itupun mereka tidak mau menerima pendapat Utsman yang bertawassul dengan Rasulullah setelah beliau wafat. Mereka hanya mau menerima bahwa Rasulullah mengajarkan tawassul ketika beliau masih hidup.

Untuk itu saya kemukakan beberapa hal berikut:

a. Kalau mereka menolak Hadits-hadits yang lain yang telah dishahihkan oleh ulama ahli Hadits semacam Al-Hakim, Adz-Dzahabi, Al-Asqalani, Al-Qusthallani dan sebagainya, maka kita tinggal memilih saja, kita lebih percaya terhadap keahlian siapa dalam ilmu Hadits. Siapa Ibnu Taimiyah dibanding mereka? Dia digelari âSyaikhul Islamâ hanya oleh pengikut fanatiknya saja, sementara hampir semua ulama besar justru pernah menasehati umat agar tidak tertipu oleh pendapat-pendapatnya. Apakah kita akan percaya pernyataan Ibnu Taimiyah dan mencampakkan nama-nama besar itu yang masing-masing mereka bergelar âAl-Hafizhâ yang berarti telah hafal sedikitnya sepuluh ribu Hadits dengan sanadnya? Apakah kita lebih percaya pada Ibnu Taimiyah yang banyak memberi pernayataan âplin-planâ dalam berbagai kitabnya? Dalam segi ketelitian berargumentasi, Ibnu Taimiyah sudah jelas nampak kacau balau, ia tidak memenuhi syarat walaupun untuk disebut sebagai âpenelitiâ, apalagi untuk disebut sebagai âahli Hadits! Lantas bagaimana mungkin kita mau memegang omongannya!

b. Ketika mereka (Ibnu Taimiyah dan pegikutnya) menyatakan haram atau syirik terhadap tawassul dengan orang meninggal, maka berarti mereka menganggap sesat dan syirik terhadap perbuatan Utsman bin Hunaif, berarti Sahabat Nabi ada yang sesat dan syirik. Beranikah mereka katakan itu di hadapan Rasulullah?

c. Kita tidak usah membicarakan Hadits yang lain. Kalaupun hanya riwayat Utsman bin Hunaif yang shahih, bahwa Rasulullah mengajarkan tawassul sewaktu beliau hidup, riwayat ini sama sekali tidak menyimpulkan bahwa tawassul dengan Nabi itu hanya berlaku selama beliau hidup. Seandainya memang tawassul dengan orang meninggal itu sesat maka tentu Rasulullah adalah orang yang paling hawatir umat beliau tersesat, maka tentu beliau akan berpesan pada orang yang diajari tawassul itu agar âtawassul dengan Nabiâ tidak dipakai setelah beliau wafat. Kenyataannya Rasulullah menyuruh tawassul dengan diri beliau tanpa mengkhususkan selama beliau hidup. Maka barang siapa mengkhususkan sesuatu yang tidak dikhususkan oleh Rasulullah, maka ia jelas-jelas telah melakukan bidâah yang sesat.

d. Mereka berdalih dengan sebuah riwayat shahih bahwa Khalifah Umar bin Khaththab pernah bertawassul dengan Sayyidina Abbas bin Abdul Muththalib, paman Nabi, pada saat shalat istisqaâ setelah Nabi wafat. Mereka, pikir, kalau memang tawassul dengan orang meninggal itu boleh maka tentu Khalifah Umar akan bertawassul dengan Nabi. Paham ini sebenarnya sangat dangkal dan nampak sekali kesan pemaksaannya hanya demi untuk mendukung pendapat mereka. Coba kita perhatikan berita kalimat ini: âUmar bertawassul dengan Abbas, waktu tawassulnya setelah Nabi wafatâ. Jujur saja, kalimat ini memberi dua kesimpulan, yang pertama sifatnya pasti dan yang kedua sifatnya hanya mungkin. Pertama, berarti boleh bertawassul dengan selain Nabi. Yang kedua, bisa jadi Umar menganggap tidak boleh bertawassul dengan orang meninggal, makanya beliau bertawassul dengan Abbas yang masih hidup. Kemungkinan yang kedua ini hanya âbisa jadiâ, artinya bisa juga tidak. Nah, dalam kaidah Ushul Fiqih, memutuskan suatu hukum itu harus berdasarkan nash (dalil) yang tidak memiliki banyak kemungkinan kesimpulan. Kaidah mengatakan:

عÙÙÙد٠ÙÙجÙÙÙد٠اÙاÙØ­ÙتÙÙÙاÙ٠سÙÙÙط٠اÙاÙسÙتÙدÙÙاÙÙÙ

âKetika ada kemungkinan maka gururlah penggunaan dalil.â

Jadi, orang yang mengerti Ushul Fiqih akan merasa malu untuk menjadikan riwayat Umar ini sebagai hujjah untuk mengharamkan tawassul dengan orang yang telah meninggal.

e. Mereka mengaggap tawassul dengan orang yag telah meninggal sebagai syirik, kalau dengan orang yang masih hidup maka tidak. Lantas apa bedanya? Bertawassul dengan seseorang itu karena melihat status orang yang ditawassuli, karena kita mengaggap dia sebagai kekasih Allah. Nah, status kekasih Allah itu tidak berubah setelah ia meninggal. Sebagian mereka berkata bahwa orang yang telah meninggal itu tidak bisa memberi manfaat sebagaimana orang yang masih hidup.â Yang lain berkata: âAllah itu Maha Dekat dan Mendengar, mengapa kita tidak langsung saja berdoa kepada Allah tanpa perantara!â Maka pernyataan itu semakin memperjelas kesahpahaman mereka. Berarti, menurut mereka, tawassul itu minta pada orang yang ditawassuli. Ini sudah jelas keluar dari arti “bertawassul dengan seseorangâ. Dari segi bahasa saja mereka telah salah memahami arti tawassul. Secara bahasa, tawassul itu artinya memohon dengan merengek atau merayu. Maka bertawassul dengan seseorang itu artinya meminta kepada Allah dengan sebuah rayuan berupa menyebut orang yang dicintai Allah. Sama dengan merayu Zaid bin Umar, misalnya, dengan berkata âSaya penggemar orang tua Anda, maka demi dia, tolonglah saya.â Coba perhatikan, siapa yang dimintai diatara Zaid dan Umar itu? Zaid, Umar atau dua-duanya? Kalau ada yang bilang berarti minta pada Umar atau pada dua-duanya Zaid dan Umar, berarti orang itu belum bisa disebut âbisa berbahasa dengan benarâ.

Itulah beberapa hal yang semoga dapat membantu mereka untuk memahami arti tawassul. Baragkali mereka memang kurang punya sopan santun sehingga tidak menghormati ulama-ulama ahli Hadits dan sembarangan menyebut mereka sesat. Setidak-tidaknya agar mereka tidak buru-buru menganggap sesat dan syirik terhadap mereka

Syirik yang sebenarnya

Syirik yang sebenarnya adalah ketika kita meminta pada seseorang, baik yang diminta itt masih hidup atau sudah mati, dengan berkeyakinan bahwa dia mampu memberi dengan kemampuan mutlak sebagaimana kemampuan yang dimiliki Allah. Coba kita tanya pada orang yang bertawassul dengan para wali itu, seawam apapun mereka tidak pernah meyakini bahwa para wali yang ditawassuli itu mampu memberi dengan kemampuan mutlak sebagaimana kemampuan yang dimiliki Allah. Demikian pula dengan tabarruk, ketika mereka menyentuh, mencium dan meminum air rendaman benda bekas orang shaleh, mereka tidak pernah menganggap benda itu memiliki kekuatan sebagaimana kekuatan yang dimiliki Allah. Mereka hanya berharap dengan itu Allah tersentuh untuk mengabulkan doa mereka, atau berharap untuk mendapat ridha Allah. Hal ini sama dengan perihal orang yang mencium hadiah pemberian Anda di hadapan Anda. Coba apa yang Anda pikirkan tentang orang itu? Menurut Anda apa yang ia tuju dengan mencium hadiah itu di hadapan Anda? Anda pasti berfikir bahwa dia melakukan itu untuk membuat Anda senang. Demikian pulalah yang terjadi pada orang yang bertabarruk, mereka berharap Allah senang dengan tabarruk itu, karena yang mereka tabarruki adalah orang atau benda bekas orang yang dicintai Allah. Itulah yang terjadi pada umumnya kaum muslimin yang bertabarruk. Kecuali orang awam yang memang masih dalam pengaruh kepercayaan kuno pra Islam. Dan untuk orang seperti ini tentu saja kita wajib memberi pengarahan.

Sumber Posted in Mencintai Rasulullah | No Comments »


BUKU TERKAIT BAABUD

January 18th, 2009 by syafii


Buku âAsal-usul Para Wali, Susuhunan, Sultan, dsb, di Indonesiaâ, Jakarta, 1975, Penerbit tidak ada;Â hal 12.

Oleh Tharick Chehab Guru Besar L.B. IAIN Jakarta

Â

Keluarga Al Baâabud:

Sayid Ahmad bin Muchsin Baâabud tiba dari Hadramaut di Pekalongan pada permulaan abad ke 19, dan menikah dengan seorang puteri Regen Wiradesa. Anak cucunya Sayid Muhsin bin Husain bin Ahmad Baâabud bergelar Raden Suro Atmojo. Saudaranya Ahmad bergelar Raden Suro Diputro.

Â

Buku âUlama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnyaâ, Cet 2, jakarta, Pnerbit Lentera, 1999, hal 160

Oleh Drg. H. Muhammad Syamsu As.

Â

  Sultan Hamengku Buwono I wafat pada tahun 1792 M, lalu digantikan oleh putranya Hamengku Buwono II (Sultan sepuh). Hamengku Buwono II ini cerdik, lincah, berani dan tidak menyukai Belanda. Ketika sikapnya ini tampak oleh Belanda, maka dipecatlah ia oleh Gubernur Jenderal (Hindia Belanda) Daendels.

  Habib Alwi Baâabud adalah ulama Arab yang hidup saat itu. Salah seorang putri Sultan Hamengku Buwono II, yaitu Bendoro Raden Ayu Samparwadi, kawin dengan Raden Tumenggung Hassan Manadi, yang sebelumnya bernama Sayid Husein bin Habib Alwi Baâabud. Dari perkawinan ini lahir seorang putra yang ikut diasingkan ke Penang, yang selanjutnya dipindahkan di pengasingan Ambon.

Â

Â

Ket:

-Sultan Hamengku Buwono II diasingkan di Penang 1812-1816, kemudian dipindahkan ke Ambon.

- Hal 161 UPIIS:

 Pada bulan Juli 1825 Gubernur Jendral de Kock diangkat sebagai peimpin tentara Belanda. Belanda mengangkat kembali Sultan Hamengku Buwono II yang sudah diasingkan di Ambon bertahta kembali dengan maksud agar bisa mempengaruhi cucundanya Pangeran Diponegoro, sehingga mau menghentikan perlawan bersenjata. Usaha ini diketahui dan idasari pangeran Diponegoro hingga siasat ini mnenemui kegagalan.

- Hal 12 APWSSI:

  Satu cabang dari keluarga Bin Yahya tiba di pulau Pinang pada permulaan abad 19, namanya Tahir. Beliau menikah dengan seorang puteri dari keluarga Sultan Yogyakarta (Sultan yang dibuang ke pulau Penang selama 1812-1816).

  Sayid Tahir datang ke Jawa tinggal di Semarang. Puteranya yang ketiga Ahmad, bergelar Raden Sumodirjo yang kemudian tinggal di Pekalongan, memperisterikan seorang syarifah dari keluarga Baâabud. Puteranya Sayid Saleh bergelar Raden Sumodiputro. Sedang satu-satunya puterinya menikah dengan seorang Sayid dari Hadramaut.

Sumber Posted in Mencintai Rasulullah | No Comments »


Sekilas mengenai keturunan Ba’abud Kharbasani

January 18th, 2009 by syafii



Di dalam ilmu nasab ada 3 kelompok keluarga yang memakai/menyandang gelar Baâabud ini, ketiga kelompok tersebut adalah :

1. Ba’abud Kharbasani

2. Ba’abud Dabjan Al Abdullah Ba’Alawi

3. Ba’abud Maghfun Al Ammul Faqih

Ke tiga keluarga Ba’abud ini berasal dari cabang yang berbeda, namun menyandang gelar yang sama. Kami akan membatasi penguraian ini pada keluarga Ba’abud Kharbasani.

Yang pertama kali menyandang gelar Baâabud ini adalah As Syech Al Imam Abdullah Ba’abud (wafat di Tarim 834 H) bin Ali (wafat 775 H) bin As Syech Al Imam Muhammad Mauladawilah (wafat di Tarim 765 H).

As Syech Al Imam Abdullah Ba’Abud mempunyai putra Al Imam Abdurrahman, Al Imam Abdurrahman mempunyai putra Al Imam Abubakar. Al Imam Abubakar inilah yang pertama kali masuk ke wilayah Kharbasani, sehingga keturunannya menyandang gelar Ba’abud Kharbasani.

Kami akan membatasi penguraian ini pada generasi Al Habib Muchsin bin Abdullah bin Abubakar bin Husin bin Ahmad bin Abubakar Ba’abud Kharbasani bin Abdurrahman bin Abdullah Ba’Abud .

Al Habib Muchsin bin Abdullah mempunyai 7 orang putra yaitu :


I. Hasan keturunannya tidak tercatat lagi setelah generasi ke 2.

II. Zain keturunannya tidak tercatat lagi setelah generasi ke 1.

III. Muhammad keturunannya dalam jumlah yang kecil tersebar di Tarim dan Jakarta.

IV. Syech keturunannya ada di Jakarta dan sebagian besar sudah tak

 tercatat lagi.

V. Abubakar

VI. Husin

VII. Umar, yang mempunyai putra Muchsin.

Â

Al Habib Muchsin ini mempunyai 4 putra yaitu :

VII.1. Â Al Habib Ahmad bin Muchsin Ba’Abud Kharbasani.

Al Habib Ahmad datang dari Hadramaut pada awal abad 1800 M tiba di Pekalongan di daerah Wiradesa. Beliau kawin dengan putri Bupati Wiradesa Raden Jayaningrat I.

Al Habib Ahmad ini mempunyai 2 orang putra yaitu :

VII.1.1. Husin wafat di Wiradesa mempunyai 4 orang anak yaitu :

-Â Â Â Â Â Â Â Â Â Ahmad (Raden Surodiputro), wafat di Wiradesa.

-         Muchsin (Raden Suroatmojo) menjadi Patih Brebes, dan keturunannya sudah sangat membaur dan memakai nama-nama jawa/Indonesia dan keturunannya ada di Wiradesa Pekalongan.

-Â Â Â Â Â Â Â Â Â Zain, keturunannya ada di Wiradesa Pekalongan.

-         Ali (wafat 1334 H), keturunannya ada di Wiradesa Pekalongan.

VII.1.2. Umar wafat di Wiradesa dan mempunyai 3 putra yaitu :

-Â Â Â Â Â Â Â Â Â Alwi

-Â Â Â Â Â Â Â Â Â Abdurrahman keturunannya ada di Pekalongan, Banjarmasin, dan Balikpapan.

-Â Â Â Â Â Â Â Â Â Ahmad

VII.2. Al Habib Abdullah bin Muchsin Ba’abud Khorbasani

Â


Al Habib Abdullah ini mempunyai anak Alwi dan menikah dengan janda Sultan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I.

Al Habib Alwi ini mempunyai putra yaitu Hasan Al Munadi wafat di Temegongan dekat Purworejo dan menikah dengan anak Sultan Yogyakarta, Sri Sultan HB II . Dari sini Al Habib Alwi mempunyai 2 putra yaitu :

VII.2.1. Ibrahim gelar Madyo Kesumo (wafat di Manipa Ambon), yang mempunyai 3 putra yaitu:

1.      Ahmad Wongsodipura

2.      Abbas Kusumo Atmojo

3.      Muhammad Irfan (Madyo Wijoyo), yang keturunannya tersebar di Jakarta,Tarakan, Wonosobo, Banyumas,Sukabumi, Bandung, Surabaya, Purwakarta, Jokjakarta, Purworejo, Cimahi, Padang, Semarang dan Randu Dongkal Pemalang.

VII.2.2. Abubakar Puspodipuro (wafat di Yogyakarta), yang mempunyai 2 putra yaitu:

1.      Ishaq Pusodipuro

2.      Abdul Kadir, keturunannya ada di Pekalongan, Pemalang, Luanu, Bulus Purworejo dan Purworejo.

Â

VII. 3. Al Habib Soleh bin Muchsin Ba’abud Kharbasani

Â

Beliau mempunyai 2 putra yaitu :

VII.3.1. Husin

VII.3.2. Hasan mempunyai 3 putra yaitu :

1.      Hamid

2.      Abdurrahman (wafat di Pekalongan)

3.      Ahmad           (wafat di Palembang).

Dari sinilah keluarga Ba’Abud yang ada di Palembang berasal. Selanjutnya keturunannya tersebar ke Banjarmasin, Bulus Purworejo, Pekalongan dan Semarang.

Â

Keturunan Al Habib Ahmad ini ada 3 orang yaitu :

1.      Sholeh  (wafat di Gersik dan terputus).

2.      Ali        (wafat di Palembang). Dari sini juga jalur keluarga Ba’Abud Palembang.

3.      Ahmad (wafat di Semarang) keturunannya ini ada di  Palembang

VII.4. Al Habib Idrus bin Muchsin Ba’abud Kharbasani

Â


Beliau mempunyai 5 putra yaitu :

VII.4.1. Usman.

   Keturunan dari Al Habib Usman ini ada di Cirebon dan Semarang, namun tak tercatat lagi untuk generasi ke 2. Ada keterangan, salah satu keturunannya Habib Ishaq bin Usman Ba’Abud. Al Habib Ishaq ini memiliki 3 putra yaitu :

  1. Muhammad  (keturunannya di Cirebon dan tak tercatat lagi)    Â
  2.  2.Yusuf, terputus.  Â
  3. 3. Usman, terputus.

Â

VII.4.2. Hasyim

   Keturunan dari Al Habib Hasyim ada di Wonosobo dan sudah tak tercatat lagi pada generasi ke 2.

Â

VII.4.3. Muchsin

    Keturunan dari Al Habib Muchsin ini ada di Wirodesa Pekalongan dan sudah tak tercatat lagi pada generasi ke 2.

Â

VII.4.4. Abubakar

    Keturunan dari Al Habib Abubakar ini ada di Pekalongan, Jatibarang, Pemalang, Idramayu, kendal dan Jakarta.

Â

VII. 4.5. Ali (terputus, kemungkinan meninggal dalam usia muda).

Sumber: Naqobatul Asyrof Al-Kubro - The Alawiyin Family Gen WebLinks

(sesuai buku Habib Ali b Ja’far b Syech Assegaff jilid 3Â dan buku induk jilid 6)

Posted in Mencintai Rasulullah | No Comments »


âALLAHâ DALAM ALKITAB DAN ALQURâAN SESEMBAHAN YANG SAMA ATAU BERBEDA? â APAKAH KONSEP KRISTIANI, YAHUDI, ATAU KOLABURASI KEDUANYA (TANGGAPAN )

January 18th, 2009 by syafii


Â

Dalam buku yang berjudul âAllah dalam Alkitab & Alqurâan sesembahan yang Sama atau Berbeda? Dengan pengarang yang bernama Frans Donald, disertai pengantar DR. Tjahjadi Nugroho, MA, telah dengan cerdik dan licik memukau pembaca mempermainkan kata demi kata yang kemudian diuntai bak rangkaian jaring pukat harimau, untuk menggiring pembaca tanpa ampun menjadi terkesima, dan kemudian mengambil kesimpulan; betapa sederhananya merujukkan ummat Islam dan ummat Kristiani dibelahan bumi ini âhanyaâ dengan menyamakan persepsi bahwa Allah yang berada (tercantum) dalam kedua kitab suci yaitu Alqurâan dan Alkitab.

Pendapat yang didasari oleh persamaan-persamaan makna yang tertuang dalam kedua kitab suci, bahkan pandangan serta cerita historis sebagai dua agama yang diturunkan dari langit (dari Allah SWT), juga kesamaan keturunan Ibrahim melalui Ishak dan Ismail, merupakan cikal bakal ketiga agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam) yang senantiasa secara klasik terus menerus dihembuskan dalam rangka upaya âmelunakkanâ perbedaan perbedaan yang semakin meruncing akhir-akhir  ini.

Pelunakan pelunakan dimaksud yang selama ini ada sebenarnya sudah terkonsep sejak jaman dulu, hanya merupakan âangin sorgaâ orang awam dan justru dijadikan âtipu dayaâ klasik yang diulang ulang pada saat saat yang tepat untuk dibutuhkan dan ditampilkan, dimana kemudian dalam jangka waktu sekejab dilupakan bahkan diputar balik oleh perbuatan perbuatan yang paradog dari tampilan semula.

Hal serupa sekarang giliran saudara Frans Donald tampil dengan lebih beraniâmengangkatâ satu permasalahan kata Allah ditilik dari dua kitab suci (Alqurâan dan Alkitab), termasuk didalamnya masalah Trinitas yang dianggap sangat sensitive, menurutnya sangat mendasar dan tampaknya telah menjadi âpemicu utamaâ pertentangan teologis dan perdebatan-perdebatan sengit antara ummat Islam dan ummat Kristen (hal. 8).

Secara umum pendapat tersebut syah-syah saja untuk dikemukakan dan sekedar dibaca karena memang sudah kepalang tanggung âtercetakâ, dalam arti lain tidak ada hal baru untuk dijadikan formula mengatasi inti permasalahan yaitu âdapat menyelesaikan kemelut dua agama demi perdamaian abadi dan kerukunan beragama antara Islam dan Nasrani (hal.9). bahkan kalau dikaji tulisan ini terlalu sederhana dan menyederhanakan masalah dengan jalan hanya âmengharapkan maklumâ dari ummat Islam bahwa selain sama-sama dari keturunan Ibrahim , sama-sama agama dari langit dan âAllah yang ada (tercantum) di Alqurâan sama dengan yang ada di Alkitab (termasuk yang sekarang)â, maka persoalan selesai dan kerukunan yang dirindukan oleh penulis (sampai terinspirasi tulisan) yakin bakal tercapai.

Sayangnya saudara Frans Donald dalam catatan awal terlebih dahulu sudah menyampaikan keterbatasannya dengan mengemukakan sempitnya rujukan /referensi terutama yang bersumber dari Alqurâan (pandangan Islam) yaitu hanya dengan menggunakan metoda âkitab suci apa adanyaâkemudian dengan berani mempermainkan istilah atau kata Allah kemudian dikupas hanya melalui terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia , sehingga seolah-olah buku ini sebagai (maaf) khayalan seorang penulis yangâmengakuâ Kristen Tauhid (karena di KTP) dan lebih suka disebut                                    agama Ibrahimik (karena iman ketiga agama) yang ragu-ragu , dan mencoba âmengangkatâ teori sederhananya tentang ummat Islam dengan mencoba menyisipkan penggalan-penggalan ayat Alqurâan yang karena keterbatasannya jadi keliru penapsirannya, (sebagaimana banyak diutarakan tanggapan / testimonial pada situs internet) terhadap buku ini.

Dari sisi lain tanggapan pada buku/tulisan saudara Frans Donald dapat dikemukakan sebagai berikut:

a.      Akar permasalahan yang mendasar bukanlah terletak kepada âpengakuanâ ummat Islam terhadap kata kata âTuhanâ yang ditujukan kepada Yesus, terlebih lagi rumitnya mengklarifikasi âTrinitasâ itu sendiri, tapi sebaliknya masalah ini dimaklumi oleh ummat Islam sebagai perbedaan hakiki disebabkan oleh hal yang lebih mendasar (yang sejatinya merupakan akar masalah) yaitu pengakuan Islam (Alqurâan) terhadap apa yang disebut Alkitab yang dijadikan pegangan ummat Nasrani saat ini sudah mengalami perubahan demi perubahan dalam perjalanannya, dengan kata lain Bible dan Taurat yang sekarang digunakan bukanlah yang diakui didalam Alqurâan (karena bukan aslinya).

âSesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar mutar lidahnya membaca Alkitab ,padahal ia bukan dari Alkitab; dan mereka mengatakan, âIa (yang dibaca itu datang)dari sisi Allah â mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui (Ali Imran , 78). Hal tersebut dikuatkan lagi dengan Ali Imran 71 & 72.

Nah, â¦kalau sudah demikian , apa lagi upaya saudara Frans Donald untuk berusaha (kalau tidak memaksakan) pendapat dalam menyandingkan istilah / kata Allah bahkan maknanya yang terdapat pada Alqurâan (yang diyakini) dengan Alkitab (yang tidak diyakini karena keasliannya) oleh ummat Islam.

b.  Lebih jauh bila diruntun dari keabsaan kedua referensi / rujukan primairnya yaitu khususnya Alkitab masih sangat jelas ditemukan hal menyangkut kredibilitas sebagai âfirman Allahâ yang kemungkinan besar penyebabnya adalah hilangnya Alkitab yang asli (pada zaman Isa Almasih) dan lebih âmerancukanâ adalah Bible yang saat ini digunakan ternyata diterjemahkan kedalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia. Sehingga betapapun sempurnanya terjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain, tentu tidak mungkin pas, baik menyangkut arti dari kata katanya, apalagi bila sudah meningkat kemakna kata maupun kalimat itu sendiri. Hal tersebut yang membedakan Alqurâan yang senantiasa âterjaminânaskah aslinya (dalam bahasa Arab) yang biarpun dikaji dalam bahasa lain, harus berupa âtafsirâ dan itupun melalui perjalanan yang panjang yaitu seleksi yang ketat dan pengakuan dari berbagai pihak yang berkompeten, antaralain dari syarat penulisan Alqurâan adalah;

  1. harus sesuai dengan hafalan para sahabat Rosulullah yang lain
  2. tulisan/naskah tersebut benar benar adalah ditulis atas perintah dan dihadapan Nabi SAW

c.      Sebagai bukti bahwa kerancuan suatu persoalan yang didasari oleh sumber yang âkeliruâ telah dikemukakan sendiri oleh saudara Frans Donald, yaitu pada saat mencoba lagi mengankat permasalahan âusangâ tentang Trinitas yang seolah dipaksakan untuk dimengerti dan diterima audience pembaca , dengan jalan âmeng otak atikâ istilah Allah dan Tuhan agar diterima dengan anggapan yang sama artinya, baik itu yang tertera di Alqurâan dengan yang tertera di Alkitab. Yang dijadikan inti permasalahan disini adalah yang dimaksud âTuhan Yesusâ dalam Bible sebenarnya harus diartikan âbukan Tuhanâ, (seperti Allah), karena tuhan disini sama artinya dengan (akar katanya) âtuanâ, hal ini didasari acuan P.Adolf Henken SJ (ensklopedi populair gereja, Yayasan Kanisius , Yokyakarta, 1978) yang sebenarnya telah dibantah oleh beberapa ahli bahasa, karena sisipan huruf âHâ (untuk lebih menghormati) ditambahkan ke kata âtuanâ menjadi âtuhanâ tidak dapat terjadi apabila antara akar kata dan hasil sisipan bila dimasukkan dalam kalimat mempunyai arti yang berlainan. Dengan kata lain sisipan semacam ini hanya bisa diterima apabila arti âakar kataâ tidak berubah, misalnya kata; antar menjadi hantar, iba menjadi hiba , tau menjadi tahu , mau menjadi mahu dan lain lain. Sehingg terbukti bahwa akar kata tuan tidak sama dengan tuhan, sebagai contoh (kalimat yang janggal); âApa kabar tuhan Frans Donald dan tuhan Tjahjadi, saya tadi malam bermimpi tuhan Yesus, apakah ada diantara tuhan sekalian yang bermimpi seperti saya?â

Tentu kalimat semacam ini sama sekali tidak relefan, dan membuat orang âbengongâ.

Pertanyaan paling sederhana adalah, mengapa saudara Frans Donald setelah menguraikan âkejanggalanâ tersebut (dimana sebenarnya hal ini merupakan masalah sensitip dan mungkin cukup menyinggung kaum Nasrani), tetapi uraian selanjutnya justru mengajak (lebih cenderung âmemaksakanâ) ummat Islam juga dapat memaklumi sekaligus menyetujui bahwa Allah yang terdapat di Bible adalah sama dengan kata Allah yang ada di Alqurâan (hal ini bertentangan sesuai uraian diatas), sekaligus menyangkut istilah Tuhan yang terdapat di Bible adalah berarti âtuanâ (hal ini bertentangan dengan pengajaran para penginjil dan Pendeta yang mengajarkan kepada jemaatnya bahwa Yesus adalah Allah, hal 26).

Disini nampaknya saudara Frans Donald dengan cerdik âmembenturkanâ ummat Islam dan Nasrani (bukan seperti yang dikemukakan dalam buku itu bahwa harapan mulia saudara Frans Donald adalah mempertemukan/merujukkan kedua ummat, tapi justru sebaliknya,)

d.     Kami sangat sependapat dengan pengantar Pendeta Tjahjadi Nugroho yang mengemukakan pendapat Arthur Weley, yaitu âsebuah buku menjadi berharga ketika pembaca dapat dengan jelas menangkap sudut pandang penulisnya, bukan karena sang penulis membolak-balik fakta, , melainkan karena ia dengan gamblang menunjukkan reaksi emosional dan intelektualnya terhadap fakta-fakta ituâ. Dalam pengantar itu pula disebutkan adanya âkesan yang jelasâ, yaitu sikap Frans Donald yang gamblang terhadap fakta sejarah , konflikagama Islam dan Kristen.

e.      Namun kalimat âkesan yang jelasâ arti lain dari pembaca yang cukup cerdik, adalah; buku ini merupakan misi Agama /kelompok yang dibuat oleh seorang Frans Donald melalui âdapur propagandaâ yang selalu dilakukan secara klasik, berkesinambungan, dengan cara penyederhanaan masalah hakiki dengan hanya mengemukakan persamaan-persamaan, dengan pura-pura mencoba âmelupakanâ persoalan inti, dan justru dalam persamaan tersebut telah pula di jeneralisir seluruh perbedaan, perdebatan, sampai-sampai saling menghina, saling menghujat, dan saling menganiaya , dibuat âsama rataâ merupakan kekeliruan dari kedua ummat (Islam dan Nasrani),

Terbukti saudara Frans Donald merasa takut untuk menguak rincian kejadian , penyebab kejadian (asbabun) sejarah yang jujur setiap peristiwa yang selalu dikemukakan dalam bukunya. Seharusnya paparan gamblang dimaksud harus dikemukakan .agar âobatâ yang diharapkan dapat dicari dengan benar (karena âpenyakitâ sesungguhnya telah ditemukan).

f.       Sebenarnya,â¦ada atau tidak ada tulisan /buku dari saudara Frans Donald ini sama sekali tidak ada pengaruh khususnya bagi ummat Islam, meskipun nampak dengan susah payah berusaha meyakinkan (bahkan dengan cara mendramatisir ) dengan berbagai ungkapan, antara lain; âBacaan untuk dewasaâ; âJika anda mengaku pengikut Muhammad SAW, buku ini jangan pernah anda lewatkan ! jika anda mengaku sebagai pengikut Yesus Kristus, buku ini wajib anda bacaâ . dan lain-lain, nampaknya hanya terkesan cenderung kefaktor ekonomi (agar buku laris)

Karena pada hakekatnya ummat Islam pada awalnya sudah mempunyai pedoman berupa âaksiomaâ dari berbagai ayat Alqurâan antara lain; (Albaqarah,:120) âOrang-orangYahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka, katakanlah:âSesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk(yang benar)â¦dst. Dan tentu dikuatkan lagi dengan ; (Al-Kafirun SQ 109) Katakanlah , âHai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah , untukmulah agamamu dan untukkulah agamakuâ

Sebagai penulis buku tentunya sudah jelas saudara Frans Donald harus sadar kalau (maaf) bahwa isi buku ini secara otomatis âterkuburâ dengan ayat-ayat diatas

Ummat Islam yang cerdas tentu akan berpikir bahwa kalau Alqurâan sudah dengan jelas mengatakan demikian, apapun dalih logika yang ada dibumi ini harus dibatalkan, hal ini sangat terkait dengan hukum âAkli (akal) dan Nakli (keimanan), dimana Akli tidak dapat membatalkan Nakli (karena akal sumbernya hanya kemampuan manusia yang terbatas, sedangkan iman merupakan totalitas penyerahan diri dalam kepercayaan kepada Allah SWT)

g.      Terbukti dari berbagai âkomentar sebagian pembacaâ (kalau memang benar), ternyata buku/tulisan saudara Frans Donald , banyak âmelukaiâ hati saudara-saudara Nasrani, dan âmengelabuhiâ saudara-saudara ummat Islam, yang ternyata sangat âparadogâ dengan penyampaian harapan / keinginan , yaitu sebagai buku yang kalau dibaca akan dapat membantu âmerujukkanâ perbedaan-perbedaan kedua agama

h.      Sebagian pendapat dari ummat Nasrani cenderung âkurang setujuâ dengan isi buku ini, karena seolah membuka masalah prinsipil yang sensitip, sedangkan pendapat dari ummat Islam cenderung âmendukungâ isi buku ini hanya didasari logika manusiawi dan âbanggaâbahwa anda berani mengupas masalah kesalah-kaprahan Trinitas sehingga menyudutkan ummat Nasrani, yang tanpa disadari sebagian besar uraian buku ini sebenarnya lebih banyak âmenyudutkan â ummat   Islam, antara lain kalimat : Terkadang golongan-golongan yang fanatic membabi buta dan berkacamata kuda tanpa pengertian mendasar dan utuh tentang kitab suci (Alqurâan maupun Alkitab) bisa sampai menpunyai pandangan yang merendahkan bahkan menghina nama Yesus Kristusâ (hal 24)

Juga dalam mengutip ayat Alqurâan (Ali Imran QS 3:84), saudara Frans Donald dengan sengaja memberikan âpengertian sendiriâ mempersamakan Ibrahim dengan Abraham, Isa dengan Yesus, dimana hal tersebut akan merupakan pengertian-pengertian yang keliru (hal 16) Dalam kutipan yang lain disebutkan , surat An Nahl QS 16:89 dan 102 diartikan bahwaâjelas sekali Alquran adalah petunjuk kabar gembira (alias Injil juga) dari Roh Kudus. (hal. 81) padahal yang sebenarnya tafsiryang dimaksud Al Kitab pada ayat (89) adalah Alqurâan itu sendiri, dan yang dimaksud âRuhul Qudus â pada ayat (102) adalah Jibril.

Yang paling mencolok dari pernyataan saudara frans Donald dalam bukunya (hal 83), yang menerangkan adanya perbedaan antar ayat Alqurâ an. Yaitu pada Surat Al Maidah ayat 51 (yang diberi makna sendiri oleh Frans Donal) âJanganlah ummat Muslim berteman atau bersahabat dengan orang Yahudi dan Kristen karena mereka tidak berimanâ dengan ayat 69 âOrang-orang Yahudi dan Kristen adalah orang yang berimanâ, mana yang benar.

Lalu,..tampak dengan ketakutan luar biasa, secepatnya âdinetralkanâ oleh Frans Donald dengan âmembenarkanâ semua ayat tersebut. Padahal sebenarnya makna saudara Frans Donal tentang ayat 51 tersebut tampak âdisengajaâ memutar balikkan arti dan tafsir sesungguhnya (yaitu selengkapnya) âHai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk pada orang-orang yang zalimâ.

Dan yang dijadikan perbedaan dengan ayat 69 ; Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Sabiâin orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian , dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula ) mereka bersedih hati.â. Yang dimaksud âsiapa saja (diantara mereka)â, telah diartikan dengan jelas (dalam penjelasan tafsir) bermakna âorang-orang mukmin, begitu pula orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Sabiâinyang beriman kepada Allah SWT-termasuk beriman kepada Nabi Muhammad SAW,-percaya kepada hari akhirat, dan mengerjakan amalan saleh , mereka mendapat pahala dari AllahSWT.

Masih banyak hal-hal yang dikemukakan dengan cara memutar-balik kata-kata, maupun âpenafsiran sendiriâ(tanpa didasari pengetahuan yang memadai dari Saudara Frans Donald), atau memang merupakan unsur âkesengajaanâ.

Dari uraian diatas , akan terbentuk suatu kesimpulan pembaca, beberapa alternatif tujuan penulisan buku ini, antara lain:

  1. Saudara Frans Donald dengan ikhlas âmenghidupkan kembaliâ permasalahan (baca perbedaan) antara paham Agama Islam dan Kristen, untuk dapat memberikan solusi saling pengertian dari kedua ummat yang pada akhirnya dapat hidup rukun didunia . Padahal masalah tersebut telah âdisepakatiâ untuk âtidak sepakatâ dari kedua ummat, dan memang tidak perlu untuk dijadikan âsumbuâ pemicu persengketaan.

2.     Saudara Frans Donald sebagai seorang Nasrani (Kristen Tauhid atau sekedar ber-KTP Kristen) sengaja âmenyeretâ pembaca khususnya ummat Islam untuk ikutan berpikir maaf âdangkalâ tentang keimanan dengan cuplikan ayat Alqurâan (yang keliru penafsiran), hal ini didahului dengan âpancinganâ bahasan Trinitas dan istilah Allah dalam Alqurâan dan Alkitab (padahal nyata Alkitab disini bukan yang dimaksud dalam Alqurâan).

3.     Saudara Frans Donald merupakan personil lembaga atau bekerja sama dengan lembaga tertentu yang sengaja âmembenturkanâ ummat Islam dan Nasrani dengan perbedaan teologinya, untuk tujuan tertentu (yang biasa merupakan âkonsep Yahudiâ), selain upaya-upaya liberalisasi agama, dengan kedok demokrasi, HAM, meng eksploitir logika dan berpikir ala Barat.

Inilah yang dapat diserap dengan pemikiran cerdas pembaca, yang sebenarnya buku/ tulisan saudara Frans Donald lebih cenderung merupakan âpropaganda ringanâ (karena sudah sering dilaksanakan dengan gaya yang selalu dimodifikasi), yang biasanya muncul dari lembaga pengkajian dan dikeluarkan dengan prosedur tetap mulai dari siapa yang , mengkonsep, siapa penulisnya, siapa penerbit dan percetakannya, sampai siapa yang memasarkan sebuah buku atau tulisan dengan sangat perhitungan.

Terakhir, catatan yang bisa disampaikan khusus kepada saudara Frans Donald adalah hal-hal sebagai berikut:

-Â Â Â Â Â Â Â Â Apabila buku ini benar sebagai propaganda yang dimaksud diatas, maka kemungkinan besar akan menjadi boomerang manakala dibaca oleh orang-orang cerdas (termasuk pemikiran Barat), karena akan mempercepat migrasi orang-orang pintar tersebut masuk agama Islam, dan sebaliknya buku ini hanya akan menjaring sebagian âorang kurang cerdasâuntuk mengikuti (karena terbukti didunia Barat hal semacam ini âsudah tidak lakuâ lagi, terpaksa beralih kedunia ketiga).

-Â Â Â Â Â Â Â Â Apabila buku ini sangat âdibanggakanâ oleh saudara Frans Donald sebagai buku yang berani dan terbuka, maka disarankan Riwayat hidup dan kegiatan anda secara lengkap dan jujur harus dikemukakan (bukan hanya âseputar agamaâ nya saja).

-        Apabila saudara Frans Donald âmeyakini suatu kepercayaan yang disebut âiman (agama)Ibrahimikâ atau âagama Tunggalâ (sebagai keluarga besar agama-agama samawi ; Yahudi, Kristen dan Islam), Dan apabila ditanya agama apa, saudara menjawab âterserahâ mau disebut agama apa!, maka,â¦disarankan anda âberlindung/bernaungâ diagama Islam, karena; - (SQ3 Ali Imran; 68 ) âSesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman(kepada Muhammad) dan Allah adalah pelindung orang-orang berimanâ.

-        Pelajarilah dengan seksama dan cerdas, anda akan menemukan lengkap HabluminAllah (hubungan manusia dengan Allah) wa Hablunminnanas (hubungan manusia dengan sesama dan lingkungan) jauh lebih lengkap dari tulisan anda. Terima Kasih.

Ir. Faisal Shahab, MSi

(Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Sul-Teng, Mantan Rektor Universitas Al Khairat Palu SulTeng)

   Â

Posted in Mencintai Rasulullah | No Comments »


Dan Rasulullah Pun Tertawa

January 18th, 2009 by syafii


Â

dakwatuna.com - Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa ada seorang lelaki datang menghadap Rasulullah saw. Orang itu punya masalah besar. Ia berkata, âYa Rasulullah, aku telah binasa.â

Rasulullah saw. bertanya, âApa yang terjadi?â

Orang itu menjawab, âSaya mendatangi isteri saya di pagi hari bulan Ramadhan dan saya berpuasa.â

Benar. Ini masalah besar. Orang ini telah melakukan dosa yang sangat besar. Ia bersetubuh dengan isteri secara sengaja sewaktu berpuasa di bulan Ramadhan. Namun orang ini sungguh hebat. Ia berani mengakui kesalahannya itu di hadapan Rasulullah saw.

Apa yang dilakukan Rasulullah saw. kepada orang itu?

Rasulullah saw. tidak bermuka masam. Marah? Tidak. Beliau tidak memarahinya. Lelaki itu datang dengan rasa penyesalan dan ingin bertobat. Ia tidak datang dengan sikap membangkang. Ia datang berharap mendapat penyelesaian atas masalahnya.

Maka Rasulullah saw. bertanya, âApakah kamu punya budak yang bisa dimerdekakan sebagai kafarat atas apa yang telah kamu lakukan?â

Orang itu menjawab, âTidak.â

Rasulullah saw. bertanya lagi, âApakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?â

Lelaki yang tak mampu menahan nafsunya itu menjawab, âTidak.â

Rasulullah saw. bertanya lagi, âApakah engkau mampu memberi makan 60 orang fakir miskin?â

Lelaki itu sekali lagi menjawab, âTidak.â

Tiba-tiba terjadi kebuntuan. Lelaki itu tidak punya apapun yang bisa digunakan untuk membayar kafarat atas perbuatan dosanya itu. Ia terduduk. Pasrah atas keputusan yang akan ditetapkan Rasulullah saw. atasnya.

Tak lama kemudian, datang seseorang membawa sebakul kurma. Orang ini memberi kurma itu kepada Rasulullah saw.

Rasulullah saw. memanggil si lelaki yang melanggar aturan Allah swt. Kepada orang-orang yang berpuasa. Kepadanya Rasulullah saw. menyerahkan kurma itu. âAmbillah ini. Sedekahkan!â

Orang itu malah bertanya, âYa Rasulullah saw., apakah saya harus bersedekah kepada orang yang lebih miskin daripada saya? Demi Allah, tidak ada orang yang lebih miskin dari saya di Madinah ini.â

Mendengar itu Rasulullah saw. ketawa. Setelah itu Rasulullah saw. bersabda, âKalau begitu, berikan kurma itu untuk makan keluargamu!â

Sungguh, betapa lebar senyum lelaki itu. Kafarat dosanya tertebus, keluarganya mendapat makanan. Subhanallah!

Sumber Posted in Mencintai Rasulullah | No Comments »


Khadijah Mengajarkan Cinta Kepada Kita

January 18th, 2009 by syafii


dakwatuna.com - Diriwayatkan dalam sahih Bukhari dengan sanadnya, dari Ibnu Syihab dari Urwah bin Az Zubair dari Aisyah, ummul mukminin menceritakan hadits tentang pemulaan turunnya wahyu, yaitu ketika Malaikat Jibril turun menemui Muhammad di gua Hiraâ dan memintanya membaca â iqraâ â tiga kali.Tiga kali juga Muhammad saw. menjawabâMaa ana biqariâ â, menegaskan bahwa beliau tidak bisa membaca. Kata âmaaâ merupakan penafian atau pengingkaran bahwa memang beliau tidak sanggup membaca sama sekali. Kemudian Jibril mendekapnya dengan kuat. Peristiwa tiba-tiba itu membuat Muhammad saw. takut dan khawatir terhadap dirinya.

Muhammad saw. segera pulang menemui Khadijah binti Khuwailid ra seraya berkata, âSelimuti aku, selimuti aku.â Dengan sigap Khadijah menyelimutinya, perlahan rasa takut mulai menghilang. Setelah merasa tenang, Muhammad saw. menceritakan kejadian yang dialaminya. âSungguh saya takut terhadap diriku.â pungkas Muhammad saw.

âÙÙاÙت خدÙجة: ÙÙا ÙاÙÙÙ Ùا ÙخزÙ٠اÙÙ٠أبدا Ø¥ÙÙ Ùتص٠اÙØ±Ø­Ù Ø ÙتحÙ٠اÙÙÙØ ÙتÙÙسب اÙÙعدÙÙØ ÙتÙÙر٠اÙضÙÙØ ÙتÙعÙ٠عÙÙ ÙÙائب اÙØ­Ùâ

Dengan sigap dan mantap Khadijah menjawab, âTidak, sekali-kali tidak, Demi Allah, Allah tidak akan menghinakan engkau selamanya, karena engkau penyambung silaturahim, membantu yang memerlukan, meringankan orang yang tidak berpunya, memulyakan tamu dan menolong untuk kebenaran.â

****

Yang menarik untuk disebut dari periwayatan ini adalah, bahwa Aisyah istri Rasulullah saw. sangat cemburu dengan Khadijah , namun demikian, Aisyah secara amanah meriwayatkan kisah ini apa adanya, tidak dikurangi sedikit pun. Subhanallah!

****

(Ùدخ٠عÙ٠خدÙجة بÙت Ø®ÙÙÙد)

âMaka Muhammad segera pulang menemui Khadijah di rumahnyaâ, mengisyaratkan bahwa Muhammad saw. âbetahâ berkeluarga dengan Khadijah, bahkan beliau mengkhususkan curhat kepadanya atas kejadian yang dialaminya. Padahal Khadijah ra tidak sendirian di rumahnya, Khadijah bersama anak-anaknya -bukan anak Muhammad dari hasil pernikahan dengan Khadijah-.

Seandainya Muhammad saw. tidak âbetahâ di rumah Khadijah, pasti beliau tidak akan pulang ke rumah Khadijah di saat dirinya dihantui ketakutan seperti itu.

Muhammad saw. minta diselimuti, ketika rasa takut dalam dirinya lenyap dan rasa khawatir yang menyelimuti jiwanya hilang, Muhammad saw. baru menceritakan apa yang terjadi.

****

Rasa takut yang demikian hebat mampu menghalangi berpikir jernih dan menghambat berinisiatif secara cepat dan tepat.

(ÙÙÙا Ø°Ùب ع٠إبراÙÙ٠اÙرÙع Ùجاءت٠اÙبشر٠ÙجادÙÙا ÙÙ ÙÙÙ ÙÙØ·(

âMaka tatkala rasa takut hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya, diapun bersoal jawab dengan (malaikat-malaikat) kami tentang kaum Luth.â Huud:74

(ÙزÙÙÙ٠حت٠ذÙب عÙ٠اÙرÙع)

Penggunaan huruf â faâ â dalam potongan hadits di atas menunjukkan kesigapan seorang istri, âMaka Khadijah langsung menyelimutinya, sehingga hilanglah rasa takut darinya.â

Muhammad saw. terkenal sebagai seorang yang selalu menjaga kehormatan dan kepribadian dirinya, sehingga tidak mungkin beliau meminta diselimuti, kalau bukan karena kondisi yang menimpa dirinya sedemikian hebat.

Namun, rasa takut dan khawatir yang dialami Muhammad saw. adalah hal yang wajar, sebagaimana nabi-nabi sebelumnya juga demikian,

âMaka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata: âJangan kamu takut, Sesungguhnya kami adalah (malaikat-malaikat) yang diutus kepada kaum Luth.â Huud:70

âMaka Musa merasa takut dalam hatinya.â Thaaha:67

â(Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. mereka berkata: âJanganlah kamu takutâ, dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak). Adz Dzariat:28

Muhammad menceritakan kejadian yang dialaminya setelah beliau benar-benar merasakan ketenangan. Muhammad memilih Khadijah sebagai tempat curhat beliau. Kenapa? Karena Khadijah orang yang paling tahu tentang dirinya, orang yang paling dekat dengannya, Khadijah tahu, bahwa apa yang diceritakan suaminya adalah benar.

Sekaligus Muhammad saw. juga paham bahwa istrinya mampu memberi jalan keluar dari peristiwa yang hadapinya.

Khadijah seorang yang cerdas, mengetahu solusi jitu atas apa yang dialami suaminya, termasuk perihal yang belum pernah terjadi sekalipun.

****

Permulaan turunnya wahyu merupakan tahapan baru bagi kehidupan Muhammad saw. turunnya wahyu dengan tiba-tiba menjadikan diri beliau berubah statusnya. Turunya permulaan wahyu ini sebagai deklarasi tersambungnya kembali antara langit (risalah Ilahiyah) dengan bumi (tugas penyampaian dan sikap optimisme hidup).

Tersambungnya kembali jalinan langit dan bumi, setelah sebelumnya terputus beberapa abad. Inilah proses penguatan jiwa Muhammad saw. sebagai seorang manusia untuk menerima risalah Ilahiyah.

****

Karena itu, Muhammad saw. berkata, âSaya takut terhadap diriku sendiriâ rasa takut terhadap apa yang ia lihat dan di dengar itu bagian dari tipu daya jin atau dukun, sebagaimana yang dipaparkan dalam buku-buku sirah tentang ketakutan Muhammad saw. terhadap dirinya.

Khadijah menjawab dengan mantap, karena dilatar belakangi pengenalan panjangnya terhadap pribadi Muhammad saw. sejak menjadi pedagang.

Pengenalan panjang Khadijah sebelum menikah dengan Muhammad, yaitu informasi di dapat dari pembantunya yang bernama Maisaroh -seorang laki-laki- yang menemani Muhammad saw. berdagang ke Syam, di mana Maisaroh melihat awan dengan mata kepala sendiri berjalan menaungi Muhammad saw. di suasana terik matahari. Dalam riwayat lain dua malaikat menaungi Muhammad saw. kemana saja ia berjalan dari terik matahari.

Atau berteduhnya Muhammad saw. di bawah sebuah pohon. Seorang Rahib yang melihat kejadian itu berkomentar, âTidak ada orang yang berteduh di pohon ini kecuali ia adalah seorang nabi, sebagaimana diterangkan dalam kitab asli kami.â Dan ketika diceritakan ciri-ciri Muhammad, maka itu persis tertulis dalam kitab mereka.

Kisah ini ditulis di banyak buku sirah, seperti sirah Ibnu Ishaq, sirah Ibnu Hisyam, sirah As Suyuthi, sirah As Suhaili dan lain-lain.

****

Makanya, ketika Khadijah menjawab dengan mantap, âTidak, sekali-kali tidakâ adalah berdasarkan data-data panjang yang ia ketahui sebelumnya. Jawaban yang juga tidak diduga Muhammad saw. sendiri. Jawaban tegas, memancar dari aliran cintanya kepada suaminya. Kenapa tidak? Karena Khadijah yakin bahwa beliau adalah utusan Allah swt. untuk umat ini.

Khadijah segera mencarikan informasi kepada tokoh agama, Waraqah bin Naufal, atau kepada pendeta Buhaira tentang kejadian yang dialami Muhammad saw. Keduanya berkomentar, bahwa Muhammad seorang nabi akhir zaman untuk umat ini.

****

Proses nikahnya Khadijah dengan Muhammad pun unik, dimana Khadijah meminta salah seorang wanita Quraisy untuk mempengaruhi Muhammad dengan menceritakan keistimewaan dan kelebihan Khadijah. Di akhir lobi, wanita itu menawarkan kepada Muhammad, bahwa Khadijah layak menjadi Istrinya, dan Muhammad cocok menjadi suaminya.

Dengan ditemani pamannya, Abu Thalib dan paman-paman yang lain, Muhammad saw. melamar Khadijah. Sejarah sirah mencatat, bahwa Khadijah ketika itu sebagai seorang pebisnis ulung yang sangat kaya raya.

****

Kisah lain yang menguatkan bahwa Muhammad saw. seorang Rasul adalah sebagaimana diriwayatkan Imam Baihaqi dari Ibnu Ishaq, bahwa Khadijah bersanding dengan Muhamamd saw. di dalam rumahnya. Khadijah berkata, âApakah engkau melihat Malaikat Jibril? Muhammad menjawab, âYaâ. Maka Khadijah masuk kebilik kamarnya dan bersanding dengan Muhammad seraya membuka tutup kepala dan cadar yang dipakainya. Khadijah kembali bertanya, âApakah engkau masih melihatnya? Tidak, jawab Muhamamd saw. Khadijah berkomentar, Ia bukanlah setan, ia adalah malaikat wahai putra pamanku. Khadijah yakin dan bersaksi bahwa apa yang dibawa Muhammad saw. adalah kebenaran.

Demikian, kita melihat sikap bijak ummul mukminin, Khadijah ra. Dirinya menjadi dewasa dan matang bersamaan dengan kejadian-kejadian yang dialaminya. Khadijah menjadi mudah menyelesaikan persoalan bersamaan dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya. Khadijah tidak sekedar menggembirakan dan membela Muhammad saw. berdasarkan dugaan atau kamuflase belaka. Akan tetapi Khadijah mempersembahkan pembelaan dan menyenangkan hati suaminya karena berdasarkan data-data panjang yang ia hadapi selama ini.

Dengan sigap dan penuh cinta, Khadijah mendampingi suaminya menghadapi persoalan hidup. Allahu aâlam.

Sumber Posted in Mencintai Rasulullah | No Comments »


Nabi Luth dan Hancurnya Kaum Homo

January 18th, 2009 by syafii


dakwatuna.com - Nabi Luth bin Haran bin Tarih (Azar) adalah keponakan Nabi Ibrahim a.s. Ia diutus oleh Allah swt. kepada kaumnya. Maka, mulailah ia menyeru kaumnya untuk hanya menyembah Allah swt. dan meninggalkan penyembahan kepada patung-patung berhala. Nabi Luth memulai dakwahnya dengan menanamkan tauhid sebagaimana lazimnya para nabi berdakwah kepada kaumnya.Namun, kaum Nabi Luth a.s. adalah orang-orang yang paling durhaka, paling kafir, dan paling jahat sifat dan perilakunya. Mereka gemar membegal dan menyamun. Mereka gemar melakukan hal-hal mungkar dalam pertemuan-pertemuan mereka. Di antara mereka tidak ada budaya saling menasihati untuk kebaikan. Bahkan, mereka melakukan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh manusia sebelumnya: mereka bersenggama dengan sesama jenis. Lelaki dengan lelaki. Homoseksual. Mereka tidak mau menikahi wanita. Inilah puncak kedurhakaan kaum Luth kepada Allah swt.

Nabi Luth a.s. berusaha mengembalikan kaumnya kepada penyembahan hanya kepada Allah saja. Nabi Luth juga berusaha mengembalikan kaumnya kepada fitrah manusia yang luhur. Tapi, kaumnya tidak mau berhenti dari kesesatan. Mereka tidak malu mempertontonkan perbuatan keji mereka itu. Mereka bukan saja tidak mau mendengar nasihat, bahkan menganiaya Nabi Luth. âUsirlah Luth berserta keluarganya dari negerimu. Karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mengaku dirinya) bersih.â (An-Nahl: 56)

Tidak hanya itu. Kaumnya menantang Nabi Luth agar ia mendatangkan adzab Allah swt. kepada mereka. âDatangkanlah kepada kami adzab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.â (Al-Ankabut: 29). Karena itu, Nabi Luth meminta pertolongan Allah swt., âYa Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan adzab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu.â (Al-Ankabut: 30)

Allah swt. murka dan mengabulkan doa Nabi Luth. Dia mengutus para malaikatnya. Para malaikat itu terlebih dahulu menuju ke rumah Nabi Ibrahim a.s. untuk memberi kabar gembira kepada tentang kelahiran anak yang begitu diharapkan Nabi Ibrahim. Setelah itu, para malaikat menceritakan misi besar yang mereka emban atas kaum nabi Luth.

Nabi Ibrahim bertanya, âApakah urusan kamu sekalian, wahai para utusan?â Mereka menjawab, âSesungguhnya kami diutus kepada kaum yang pendosa (kaum Luth), agar kami timpakan kepada mereka batu-batu dari tanah yang (keras) yang ditandai di sisi Tuhanmu untuk (membinasakan) orang-orang yang melampaui batas.â (Adz-Dzariyat: 31-34)

Dialog ini diabadilan Allah swt. dalam Al-Qurâan tidak sekali. âDan tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira, mereka mengatakan, âSesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk kota (Sodom) ini. Sesungguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zhalim.â Ibrahim berkata, âSesungguhnya di kota itu ada Luth.â Para malaikat berkata, âKami lebih mengetahui siapa yang ada di kota itu. Kami sunguh-sungguh akan menyelamatkan dia dan pengikut-pengikutnya, kecuali isterinya. Dia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).ââ (Al-Ankabut: 31-33)

Para malaikat yang terdiri dari Jibril, Mikail, dan Israfil itu berangkat menuju negeri Sodom. Mereka datang dalam wujud pemuda yang berwajah rupawan. Ini sebagai ujian bagi kaum Luth dan agar nanti menjadi alasan untum membinasakan mereka.

Para pemuda rupawan itu bertamu ke rumah Nabi Luth tepat ketika matahari terbenam. Nabi Luth yang tidak tahu bahwa mereka adalah malaikat, segera menerima mereka. Nabi Luth khawatir atas keselamatan mereka, apalagi jika diterima oleh orang lain. âDia (Luth) merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan para pemuda itu, dan dia berkata, âIni adalah hari yang amat sulit.ââ (Hud: 77)

Bagaiman tidak sulit, sebab malam itu pasti Nabi Luth akan mempertahankan tamu-tamunya dari serbuan kaumnya sebagaimana yang sering terjadi jika ada tamu datang ke rumahnya.

Nabi Luth membawa para pemuda yang menjadi tamunya itu masuk ke dalam rumahnya secara diam-diam. Tidak ada yang tahu, kecuali anggota keluarganya. Tapi tiba-tiba isterinya keluar dan menceritakan kepada kaumnya, âSesungguhnya di rumah Luth ada beberapa anak muda tampan, yang tidak pernah aku lihat orang yang wajahnya setampan mereka.â

Maka berdatanganlah orang-orang ke ruman Nabi Luth. Mereka ingin berbuat mesum dengan menyodomi para pemuda yang menjadi tamu Nabi Luth. Melihat gelagat buruk itu, Nabi Luth menasihati mereka agar menikahi anak-anak wanitanya saja. Namun seruan itu sia-sia. Orang-orang yang tidak tahu malu itu berusaha menerobos masuk dan menyerbu para tamu Nabi Luth.

Dalam situasi genting itu, malaikat Jibril keluar dan memukulkan ujung sayapnya kepada mereka. Tiba-tiba mata mereka menjadi buta. Akibat pukulan itu kaum Luth mundur sambil mengancam Nabi Luth. Para malaikat menyuruh Nabi Luth pergi dari rumah dengan membawa keluarganya di akhir malam nanti, dan tidak boleh seorang pun menoleh ke belakang.

Di hari itu, di akhir malam, Jibril mengangkat rumah-rumah kaum Luth. Semuanya ada tujuh rumah. Rumah-rumah itu diangkat, lalu dibalikkan. Bagian atas ditaruh di bawah kemudian dihempaskan ke bumi. Sementara dari langit batu-batu dari sijjil âyang setiap batu tertulis nama orang yang hendak ditimpakanâmenghujani mereka.

Hukuman ini tentu bukan sebuah kezhaliman. Sebab, Allah swt. telah menetapkan bahwa Dia tidak akan menghukum orang-orang zhalim, kecuali setelah Dia memberikan argumentasi yang kokoh kepada mereka, dan setelah didahului dengan janji dan acaman yang diberikan kepada mereka lewat diutusnya salah seorang Rasul-Nya yang mulia, untuk mencegah mereka dari perbuatan buruk dan memperingatkan mereka akan adzab Allah yang amat pedih. Rasul Allah itu menyerukan peringatannya di tengah mereka di setiap kota, desa, dan di mana saja.

Begitu juga yang dilakukan oleh Nabi Luth. Ia benar-benar memberi nasihat kepada kaumnya. âMengapa kamu sekalian melakukan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh siapa pun di dunia ini sebelum kamu?â (Al-Aâraf: 80)

Kemudian Nabi Luth mengulang perkataannya sebagai nasihat di kala kaumnya semakin tidak menggunakan otaknya lagi. âSesungguhnya kamu sekalian mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita. Bahkan kamu ini adalah orang-orang yang melampaui batas.â (Al-Aâraf: 81)

Orang-orang yang zhalim yang tidak memiliki akal sehat lagi itu menjawab dengan ngawur. âUsirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu ini. Karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mengaku dirinya) bersih.â (An-Naml: 56). Begitulah orang jika sudah diluputi nafsu dan kesesatan, membolak-balikan norma-norma agar sesuai dengan keingan nafsu mereka.

Ketika pembangkangan mereka sudah sampai puncaknya, Allah swt. memberikan ujian terakhir kepada Nabi Nuh dengan mengutus beberapa malaikat dengan wujud manusia: pemuda-pemuda yang sangat tampan. Sebagai nabi yang dikenal lapang dada, para pemuda ini singgah. âLuth merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata, âIni adalah hari yang amat sulit.ââ (Hud: 77)

Dan terdengarlah teriakan kepada kaum homoseks itu bahwa di rumah Nabi Luth ada beberapa tamu yang tampan dan tidak pernah ada pemuda yang setampan mereka. Dengan cepat kabar itu menyebar. Kaum homo itu berdatangan ke rumah Nabi Luth dan mengira akan bisa melampiaskan syahwat menyimpang mereka di sana. âDan datanglah kaum Luth kepadanya dengan bergegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan keji.â (Hud: 78)

Mereka menyerbu masuk ke rumah Nabi Luth. Nabi Luth menahan mereka dengan susah payah. âHai kaumku, ini putri-putriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kalian kepada Allah, dan janganlah mencemarkan namaku di hadapan tamuku. Tidak adakah di antara kamu orang berakal?â

Mereka menjawab, âSesungguhnya kamu tahu bahwa kami tidak berhasrat kepada putri-putrimu. Dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami inginkan.â Sungguh sebuah jawaban yang tidak pantas dan secara terang-terangan membangkang.

Sungguh berat kondisi Nabi Luth. Ia diserbu tanpa pembelaan. âSeandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolak) kamu sekalian, atau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku melakukannya).â (Hud: 80)

Melihat kondisi Nabi Luth yang terdesak seperti itu, barulah para malaikat membuka identitas mereka. â(Tenanglah kamu, hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu. Sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu!â (Hud: 81)

Mendengar itu, Nabi Luth sangat gembira. Lalu dikatakan kepadanya, âSebab itu, pergilah kamu dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikutmu di akhir malam, dan janganlah ada seorang pun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa adzab seperti yang menimpa mereka. Karena sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka ialah waktu subuh. Bukankah subuh itu sudah dekat?â (Hud: 81)

Karena kaum Luth tetap membangkang, tetap berhasrat mengganggu tamu-tamu Nabi Luth, dan tidak menjaga kehormatan keluarga Nabi Luth, Jibril memukul wajah mereka dengan ujung sayapnya. Pukulan itu mengakibatkan mata mereka hapus dan mereka menjadi buta. Dalam keadaan buta, mereka mundur dengan melontarkan ancaman, âBesok kamu akan tahu apa yang akan menimpamu, hai orang gila!â

Tapi, saat fajar menyingsing datanglah perintah Allah swt. Jibril membedol kota Sodom. Mengangkat tinggi-tinggi rumah-rumah mereka di udara. Lalu membaliknya dan menghempaskannya ke bumi diiringi hujanan batu-batu sijjin. âMaka tatkala datang adzab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah. (Kami balikan), dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tidak jauh dari orang-orang yang zhalim.â (Hud: 82-83)

Isteri Nabi Luth ikut keluar rumah bersama suami dan kedua anak perempuannya. Namun, wanita itu ketika mendengar jeritan dan gemuruh kehancuran kaumnya, menoleh ke belakang. Seketika itu juga sebutir batu jatuh menimpanya. Menembus batok kepalanya. Ia roboh. Musnah seperti kaumnya yang membangkang. Begitulah nasib wanita yang berkhianat kepada suaminya, yang membantu orang-orang membangkang pada ajaran Nabinya.

âAllah membuat isteri Nabi Nuh dan isteri Nabi Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami. Lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah, dan katakanlah (kepada keduanya), âMasuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).â (At-Tahrim: 10)

Begitulah Walihah, isteri Nabi Luth. Wanita ini isteri seorang nabi dan rasul, bahkan keluarga dekat Nabi Ibrahim. Tapi, ia binasa diadzab bersama dengan kaumnya yang membangkang kepada Allah swt.

Sumber Posted in Mencintai Rasulullah | No Comments »


MENAPAK JEJAK ROHANI MENYELUSURI KHAZANAH SUFISTIK

January 18th, 2009 by syafii



Ilmu ini adalah salah satu cabang daripada ilmu-ilmu syariat yang baru tumbuh dalam Islam. Ia berasal daripada cara hidup golongan mereka, iaitu cara yang sentiasa diamalkan di kalangan umat salaf dan tokoh-tokoh besar iaitu para sahabat dan tabiâin, bahkan generasi selepas mereka sebagai suatu cara yang benar dan petunjuk yang betul. Mula asalnya ialah tekun beribadat dan penuh tertumpu kepada Allah, meninggalkan keindahan dan perhiasan dunia, malah bersikap zuhud daripada perkara yang menjadi tumpuan orang ramai iaitu keseronokan, harta benda dan kemegahan. Sebaliknya mereka mengasingkan diri di dalam tempat khalwah kerana beribadah. Sikap yang demikian itu merupakan perkara yang meluas di kalangan sahabat dan golongan salaf. Justeru apabila merata penumpuan kepada dunia pada kurun yang kedua dan selepasnya, ketika orang ramai cenderung mencampuri dunia, mulailah ditentukan orang-orang yang menumpukan kepada ibadah, dengan nama sufiyyah dan mutasawwifah - Ibn Khaldun - Al-Muqaddimah (1967) h. 863.

Muqaddimah

بس٠اÙÙ٠اÙرحÙ٠اÙرحÙÙ

اÙØ­Ùد اÙÙ٠رب اÙعا ÙÙÙÙ ÙاÙصÙاة ÙاÙسÙا ٠عÙ٠سÙد اÙÙرسÙÙÙ ÙعÙ٠اÙÙ Ùصحب٠أجÙعÙ٠اÙا بعدâ¦

Manusia yang normal tidak berpada dengan mempunyai kemewahan kebendaan dan ilmu pengetahuan semata-mata, tetapi dia ingin mencapai lebih daripada itu, iaitu ingin menguasai rohaniah di dunia sejauh yang terjangkau kuasa manusiawi dalam usaha membentuk dirinya sebagai insan kamil. Justeru dia menapak jejak rohaniah sebagai salik, pengembara rohaniah menjalani laluan yang penuh liku, dilingkungi halangan-halangan dan gangguan-gangguan yang bermacam-macam. Ada yang sampai ke destinasi yang dituju dan ada pula yang gagal. Dia tersesat dalam perjalanannya itu kerana tidak ada pemandu dan peta yang boleh membantunya mengenali persimpangan-persimpangan yang diselusurinya itu. Lebih-lebih lagi jika dia tidak memahami maksud tanda-tanda jalan yang kadang-kadang merupakan simbol-simbol yang hanya difahami pemandu-pemandu yang mahir dan berketrampilan sahaja.

Pengembaraan atau rehlah rohaniah bukanlah suatu perkara yang mudah sebagaimana yang disangkakan sesetengah orang. Dia memerlukan kepada bimbingan mursyid berwibawa, orang yang benar-benar ahli dalam bidang kerohanian. Perlu diketahui tidak semua orang layak menjadi mursyid, dia mesti mempunyai kekuatan syahsiah dan ilmiah yang cukup, mempunyai kriteria yang tertentu yang melayakkan menjadi pemimpin rohaniah yang berwibawa. Inilah antara persoalan yang membimbangkan kita, kita bimbang ramai yang menapak jejak rohaniah tidak dapat menyelusuri khazanah sufistik yang sebenarnya, tetapi bergelumang di bawah tembelang yang bertopeng khazanah sufistik, terawang-awang di alam mistik yang tidak berjejak di atas hakikat rohaniah yang murni.

Oleh itu diharapkan kepada salikun, para pengembara rohaniah hendaklah berhati-hati dalam memilih landasan rohaniah agar tidak tersesat di sebalik liku-liku yang bersimpang-siur itu. Untuk mengenali khazanah sufistik yang muktabar, kita perlu mengimbau kembali beberapa aspek rohaniah bertitik tolak daripada sirah Rasulullah SAW yang merupakan qudwah hasanah dalam segenap segi kehidupan ummah. Dengan mengetahui hal-hal yang tersebut itu, diharapkan dapatlah kita menyelusuri khazanah sufistik yang pernah dinikmati oleh generasi rabbani zaman silam, golongan al-Salaf as-Salih yang merupakan generasi contoh yang paling ideal. Perlu diingat manhaj yang dilalui mereka telah mendatangkan kesan positf kepada perkembangan dan didikan rohaniah sehingga mereka dapat menguasai pengaruh kebendaan alam maddi dan meletakkan pada tempat yang wajar mengikut pandangan rohaniah Islamiyyah. Sebagai natijahnya mereka berjaya menuju alam rohaniah yang dicita-citakan itu menurut program rohaniah Islam yang sebenarnya.

Manusia Memerlukan Bimbingan Rohaniah

Manusia terdiri daripada dua unsur utama iaitu rohaniah dan jasmaniah. Untuk kesempurnaan hidupnya, Allah SWT telah membekalkannya akal dan pelbagai perasaan dan emosi yang tertentu. Untuk membimbing manusia ke arah hidup yang baik, Allah telah mengutuskan nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya bermula dari Nabi Adam AS sampai kepada nabi terakhir junjungan besar kita nabi kita Muhammmad SAW. Mereka bertugas membimbing manusia, membina masyarakat, membina insaniah dan rohaniah mereka menurut acuan yang dikehendaki Allah sendiri.

Dalam perkembangan sejarah umat manusia, mereka telah melalui berbagai-bagai gelombang kehidupan, melalui zaman hidayah di bawah pimpinan rasul-rasul, bimbingan Rabbani sehingga terbentuk masyarakat yang diredhai Allah SWT. Untuk membina masyarakat yang murni ini, Allah SWT telah menggariskan panduan-panduan hidup yang benar di bawah para rasul meliputi pelbagai aspek rohaniah dan jasmaniah. Seseorang individu dan juga masyarakat, apabila mematuhi panduan-panduan itu dengan melaksanakan tuntutan rohaniah dan jasmaniah, akan terbinalah sakhsiah dan masyarakat yang diredhai Allah .

Dalam proses perjalanan hidup ini, lama-kelamaan panduan Ilahi yang dibawa oleh rasul-rasul itu sedikit demi sedikit dilupai masyarakat. Justeru itu, timbullah individu dan masyarakat yang hilang pedoman hidup. Nilai-nilai rohaniah yang murni tidak lagi menghiasi diri manusia. Manusia menjadi liar, tiada pertimbangan hidup. Hilang arah tuju yang sebenar. Masyarakat menjadi porakâperanda dan tidak stabil. Keadaan ini dapat kita lihat dalam masyarakat generasi-generasi lampau, umpamanya kaum âAad dan Tsamud. Walaupun mereka mampu membina tamadun kebendaan, membina bangunan-bangunan namun mereka gagal dalam membentuk sakhsiah dan masyarakat yang baik. Ini kerana jiwa mereka telah kosong daripada nilai-nilai rohani yang murni. Jadilah mereka manusia yang menderhaka, angkuh dan melampau. Akibatnya mereka dibinasakan Allah.1

Kemuncak keruntuhan rohaniah ini dapat kita lihat dalam masyarakat Arab sebelum Islam. Apabila kita membuka lembaran sejarah Tanah Arab sebelum Islam, kita dapati masyarakatnya sedang menghadapi berbagai-bagai kepincangan. Baik dari segi akidah, kepercayaan mahupun dari segi sosial. Penyembahan berhala dan kepercayaan kepada tahyul merupakan pegangan dan amalan masyarakat pada masa itu. Judi, meminum arak, riba dan gejala keruntuhan akhlak berleluasa dalam masyarakat. Suku kaum berpecah kepada golongan masing-masing, bermusuh-musuhan antara satu sama lain. Fanatik kepada suku sendiri, perasaan kesukuan dan kebangsaan amat tebal menguasai diri mereka dan menjadi dasar hidup yang dipertahankan. Menceroboh, membunuh, merampas dan pelbagai keganasan lagi dianggap sebagai perbuatan mulia dan berani yang menjadi lambang kemegahan dan kebanggaan. Nilai-nilai murni tidak lagi menjadi hiasan diri dan amalan hidup.

Untuk memperbaiki keadaan yang simpang perenang sebagai mana yang tersebut di atas inilah, Allah SWT mengutus pesuruh-Nya Nabi besar Muhammad SAW sebelum memikul tanggungjawab yang besar itu lebih dahulu baginda memperkukuhkan rohaniah dirinya, mempersiapkan diri dengan didikan rohaniah yang intensif.

Muhammad Al-Amin di Gua Hiraâ

Di tengah-tengah masyarakat yang penuh dengan bermacam-macam kepincangan itu, dalam dekad pertama kurun ke - 7 Masihi, Muhammad yang bergelar Al-Amin yang sedang meningkat usia empat puluhan sedang dalam keadaan amat tidak puas hati dengan keadaan masyarakatnya yang sedemikian rupa. Baginda sentiasa berfikir dan merenung mencari kebenaran.

Pada suatu malam, baginda mengalami mimpi yang baik âal-Ruâya al-Salihahâ atau âal-Ruâya al-sadiqahâ mimpi yang benar di dalam tidurnya. Sejak itu baginda gemar bersendirian di Gua Hiraâ, sebuah gua yang terletak kira-kira enam batu ke utara kota Makkah. Baginda bersendirian di gua itu kerana beribadat menurut agama Nabi Ibrahim AS. Dalam hubungan ini Aisyah melaporkan:


Permulaan wahyu berlaku pada Rasulullah s.a.w. ialah mimpi yang baik di dalam tidur. Sesuatu mimpi yang dilihatnya itu pasti datang seperti sinaran subuh. Kemudian selepas itu baginda gemar bersendirian di Gua Hiraâ beribadat beberapa malam sebelum kembali kepada keluarga mengambil bekalan baru. Sesudah beberapa malam di Gua Hiraâ baginda pulang kepada Khadijah mengambil bekalan sehingga datang kebenaran ketika berada di Gua Hiraâ itu.

(Riwayat al-Bukhari , L-Tajrid al-Sarih, hlm.5)

Beberapa tahun sepanjang bulan Ramadhan, baginda pergi ke Gua Hiraâ, merenung, berfikir dan menunaikan ibadat. Jauh dari masyarakat yang hingarâbingar, bersendirian mencari kebenaran dan keheningan fikiran, mencari kekuatan rohaniah dan kekuatan diri.


Pada suatu ketika sewaktu berada di gua itu, tiba-tiba datang Malaikat Jibril AS dengan rupa yang asal, membawa sehelai kain sutera yang bertulis, terus ia memeluk nabi dengan erat sambil berkata: âBacalah!â dan dia menjawab: âAku tidak tahu membaca.â Sekali lagi Jibril memeluknya. Ia menyuruh lagi katanya: âBacalah!â Muhammad terus bertanya, âApakah saya akan baca?â Ketika itu Jibril terus membaca firman Allah Taala:

âBacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Ia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan pena. Ia mengajar manusia apa-apa yang tidak diketahuinya. (Surah al-Alaq :1-5)

Nabi menurut bacaan itu dan Jibril menghilang dirinya dari situ . Ketika itu baginda seolah-olah terasa hatinya sudah tertulis atau terpatri dengan ayat yang dibacanya itu.2

Begitulah peristiwa Rasulullah SAW menerima ayat al-Quran yang pertama dari Malaikat Jibril. Peristiwa ini berlaku pada malam Isnin 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahirannya bersamaan 6 Ogos tahun 610 Masihi. Ketika itu baginda meningkat usia 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut kiraan tahun Qamariah bersamaan kira-kira 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut kiraan Syamsiah.3

Dalam keadaan terkejut dan kehairanan Nabi SAW keluar dari gua itu. Ketika sampai di lembah bukit, baginda terdengar suara dari arah langit, katanya: âWahai Muhammad! Engkau rasul dan aku Jibril.â Nabi mendongak ke langit kelihatan Jibril dalam rupa seorang lelaki. Baginda tidak berganjak dari tempatnya, tidak ke depan dan tidak ke belakang. Setelah Jibril menghilangkan diri, Nabi segera pulang ke rumah mendapatkan isterinya Khadijah. Dengan perasaan gerun dan terperanjat baginda meletakkan kepalanya di atas paha Khadijah sambil berkata, âSelimutkanlah aku! Selimutkanlah aku!â4

Melihat keadaan yang luar biasa itu, dengan penuh simpati Kahdijah bertanya: âWahai Abu al-Qasim, ke manakah anda pergi? Saya telah mengantar utusan untuk mencari anda sehingga mereka sampai ke Bandar Makkah dan kini mereka telah pulang.â Setelah agak reda daripada keadaan itu, Nabi menceritakan segala yang telah berlaku. Sebaik sahaja mendengar peristiwa itu, sebagai seorang isteri yang bertanggungjawab, Khadijah cuba menenang dan menguatkan semangat suaminya itu. Kata Khadijah: âBergembiralah dan tetapkan hati wahai anak pakcik ku! Demi yang diri Khadijah ini di dalam kekuasaan-Nya, ku harap anda dapat menjadi Nabi bagi umat ini.â5 Melihat suaminya dalam keletihan dan terperanjat itu, Khadijah menyelimutkannya sehingga baginda tertidur.

Ketika Nabi sedang tertidur itu Khadijah pergi ke rumah sepupunya Waraqah bin Naufal seorang tua yang buta, beragama Nasrani, menguasai bahasa Ibrani, sangat luas pengetahuan dalam hal-hal agama. Mengetahui kandungan kitab Taurat dan Injil. Setelah mendengar cerita daripada Khadijah, Waraqah berkata: âQuddus, Quddus! Demi yang diri Waraqah di tangan-Nya, kalau engkau mempercayai aku wahai Khadijah, sebenarnya dia telah didatangi al-Namus al-Akbar yang telah datang kepada Nabi Musa. Dia adalah Nabi untuk umat ini.â Katakanlah kepadanya: âHendaklah tetapkan hati.â6

Khadijah pulang menemui suaminya dan didapati ia masih nyenyak tidur. Tiba-tiba ia menggigil dan sesak nafas sementara peluh membasahi dahinya. Baginda terbangun dari tidurnya itu dan didapati malaikat datang menyampaikan wahyu kepadanya:7


âWahai orang yang berselimut! Bangunlah , lalu berilah peringatan!Dan Tuhan mu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan jangan engkau memberi(dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.â

(Surah al-Muddathir: 1-6)

Melihat suaminya yang menggigil-gigil itu, timbul rasa belas kasihan dan simpati di hati Khadijah lalu menyuruhnya tidur kembali untuk berehat. Mendengar suruhan isterinya itu baginda berkata:-

Masa tidur dan berehat sudah habis wahai Khadijah! Jibril telah memerintah aku supaya memberi peringatan kepada manusia dan menyeru mereka kepada Allah dan beribadat kepada-Nya. Tetapi siapakah orangnya yang hendak aku serukan itu? Siapakah yang akan menerima seruan aku itu?8

Kemudian dengan tidak teragak-agak Khadijah terus menyatakan pendiriannya dengan berkata: âSayalah orang yang mula-mula sekali menyahut seruan Islam. Saya mengaku bahawa anda adalah Nabi dan Pesuruh Allah dan saya beriman kepada Allah.â

Bermulalah babak baru dalam hidup Muhammad. Hidup yang mengubah dunia dari gelap kejahilan kepada cahaya kebenaran dan ilmu. Kehidupan baginda menjadi contoh teladan yang unggul bukan sahaja dalam bidang kehidupan rohani, tetapi dalam pembinaan masyarakat dan negara.

Kerohaniaan Dalam Islam

Kehidupan rohaniah dalam Islam bermula sejak zaman Nabi SAW dan baginda sendiri merupakan model yang pertama dan utama dalam mengamalkan rohaniah dalam kehidupan sehari-hari. Amalan baginda dicontohi dan diikuti para sahabat yang kemudiannya diteruskan pula oleh para Tabiâin dan Tabiâat Tabiâin dan berterusan sampai ke hari ini dan masa-masa yang akan datang. Perjuangan dan amalan rohaniah Baginda SAW merupakan ikutan utama bagi setiap Muslim yang ingin mencapai ketinggian rohaniah.

Rasulullah dan para sahabatnya, di samping berjuang di medan perang kerana menegakkan agama Allah, mereka juga berjuang meningkatkan rohaniah, hidup zuhud, tidak mementingkan kebendaan dunia, pangkat kebesaran dan kemasyhuran diri. Mereka sebaliknya dengan penuh prihatin dan kesedaran menumpukan sepenuh hati kepada Allah, berusaha meningkatkan mujahadah al-nafs melawan hawa nafsu dan godaan syaitan. Di samping itu tidak pula lalai daripada tanggungjawab dakwah menegakkan amar maaruf dan nahi munkar. Semua tanggungjawab ini adalah semata-mata kerana Allah demi mencapai keredhaan-Nya.

Dengan iman yang kental dan keyakinan yang padu, mereka tidak ragu-ragu memikul tanggungjawab sebagai hamba Allah, menunaikan hak-hak fizikal dan juga tuntutan-tuntutan rohaniah sehingga berjaya mencapai ketinggian rohaniah dan kehidupan yang sempurna selaras dengan ajaran-ajaran dan tuntutan Islam yang sebenar. Mereka telah memperimbangkan antara tuntutan dunia dan tuntutan akhirat, antara jasmaniah dan rohaniah. Dengan menggabung-jalinkan antara dua aspek ini barulah terbina kehidupan yang dikehendaki Islam.

Cara hidup Rasulullah SAW dan para sahabat Ridwanullahi Alaihim dengan penumpuan beribadat, hidup zuhud, hidup secara kasar (taqasysyuf), mujahadah al-nafs, berjihad pada jalan Allah, semuanya itu merupakan benih pertama kehidupan rohaniah Islamiah. Kemudian benih ini tumbuh dan berkembang subur melahirkan sistem rohaniah yang mempunyai kaedah-kaedah dan cara-cara yang tertentu, menjadi amalan para tabiâin dan amalan umat Islam yang kemudiannya. Mereka mengambil berat menjalankan urusan agama, tidak lalai dan tidak terpengaruh dengan kehidupan dunia yang sementara ini.

Sirah Rasulullah SAW sebelum baginda dibangkitkan menjadi Rasul sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bahagian yang lepas, baginda berhari-hari bersendirian di Gua Hira, merenung memikirkan tentang keindahan alam, tentang keadaan masyarakat, tentang kekuasaan dan keagungan Maha Pencipta, mencari ketenangan dan keheningan jiwa, semuanya ini merupakan jalan rohaniah, jalan menyuci jiwa daripada kekotoran dan gangguan keduniaan untuk menuju insan kamil.

Untuk mencapai ketinggian dan kemurniaan rohaniah itu, seseorang itu memerlukan disiplin diri yang kuat, menjalani riadah dan mujahadah, melaksanakan amalan-amalan syariat dengan penuh kesedaran sehingga akhirnya terbentuklah kehidupan rohaniah yang murni, bersih daripada gangguan-gangguan hawa nafsu, rasa tamakkan dunia, tidak berasa takut dan ragu dalam menjalani hidup di dunia ini.

Berjuang meningkatkan ketinggian rohaniah dengan membersihkan jiwa daripada daki-daki dunia merupakan satu usaha dan ikhtiar untuk membaiki diri setakat yang mampu oleh manusia. Tujuannya supaya benar-benar menjadi abid, seorang insan yang beruntung, yang mencapai kejayaan hakiki menurut penilaian Islam, beruntung dan berjaya di dunia dan akhirat.

Dalam kehidupan dunia ini, biasanya manusia kalah kepada hawa nafsu apabila berhadapan dengan kebendaan dan pangkat kebesaran dan tawaran-tawaran kesenangan walaupun kadang-kadang jalan-jalan memperolehinya itu tidak bersih dan salah. Apabila seseorang itu kalah dalam menghadapi gejala-gejala tersebut, nilai dirinya telah jatuh ke tahap yang paling rendah, ia tidak lagi mempunyai harga diri dan terlalu hina pada pandangan Allah Taala.

Biasanya pengaruh kebendaan inilah yang memutuskan hubungan hamba dengan Tuhannya. Ia merupakan penghalang bagi seseorang daripada mencapai kebersihan kerohaniaan, menjadikan manusia leka dalam hidup ini dan akhirnya terjerumus dalam kesesatan, kegelapan dan kehinaan.

Kehidupan rohaniah menurut Islam bukan sahaja bertujuan menggilap hati sejernih mungkin, tetapi juga membawa manusia kepada keinsafan diri, mengenali diri sendiri dan mengenali akan alam sarwajagat yang tersusun indah, rapi dan menakjubkan ini. Semakin tajam keprihatinan diri terhadap alam ini, semakin jauh jangkauan mata hati, perasaan hati dan pandangan hidup meneroka alam metafizik yang penuh rahsia, penuh misteri ini.

Ayat-ayat Al-Quran begitu banyak menganjurkan manusia supaya merenung berfikir dan menyelidik terhadap alam semesta ini. Bagi orang yang berfikir, orang yang bermata hati, semua penjuru alam ini menimbulkan kesedaran bahawa di sebalik alam nyata yang indah dan terbentang luas wujud satu kuasa Yang Maha Agung, Maha Sempurna, Dialah Al-Khaliq. Apabila kesedaran ini telah bertakhta di hati, perasaan diri akan lebih tertumpu ke arah Yang Maha Agung itu sehingga timbul perasaan rindu, perasaan ingin mengenali dan mendampingi-Nya. Justeru itu, mulailah ia berusaha mencari jalan untuk makrifatullah dengan sebenar-benarnya. Sesudah dapat mencapai makrifatullah, keimanan akan bertambah kukuh, keyakinan terhadap kebesaran dan kekuasaan-Nya semakin kuat dan rasa tauhid bertambah mendalam, tiada lagi ragu-ragu, itulah tauhid ahlullah. Terangkat hijab dan terserlah baginya berbagai-bagai rahsia alam ghaib.

Apabila seseorang itu telah mencapai tahap kerohaniaan yang tinggi, mengenali hakikat hidup yang sebenar, keduniaan ini tidak lagi menjadi tumpuan hidup yang utama. Nilai kebendaan dan kebesaran pangkat pula tidak lagi menjadi tumpuan hidup dan tidak lagi menduduki tempat yang teratas dalam pandangannya. Dia sudah mempunyai pegangan dan pandangan hidup yang tersendiri. Dia sedar hidup di dunia ini hanya sementara sahaja. Dia yakin, di sebalik hidup di dunia ini ada lagi hidup yang lebih tinggi dan lebih bererti, hidup kekal abadi, hidup di dalam rahmat Allah bagi mereka yang telah menyuci jiwanya. Sebaliknya pula, hidup dalam kesengsaraan yang amat parah bagi mereka yang hanya bergelumang dengan keduniaan.

Setelah mengenali yang hak dan yang batil, ia beriltizam di atas yang hak. Kaya atau miskin, senang atau susah, mulia ataupun hina, tinggi ataupun rendah, istana atau pun teratak, semuanya tidak penting dalam hidupnya. Yang penting ialah menghabiskan sia-sia hidup sementara ini dalam kebenaran. Kalau Allah memberi kesenangan, kemewahan, kekayaan, ia bersyukur, dan ia membelanjakannya untuk jalan agama Allah. Jika sebaliknya, ia juga bersyukur dan bersabar. Ia terus berusaha dan bersabar beristiqamah dalam keredaan Allah walaupun terpaksa menempuh ujian dan kesusahan.

Dengan pandangan ini, ia terus bertekun meningkatkan taâabbudnya kepada Allah, menjadi seorang abid yang bersikap warak, zuhud, taqasysyuf, bertawakal dan reda. Inilah sikap hidup yang dipelopori baginda Rasulullah SAW, dicontohi para sahabat, menjadi ikutan generasi Muslim yang kemudian. Inilah juga cara hidup para nabi yang terdahulu, para wali, orang-orang salihin, dan orang-orang sufi.

Kehidupan rohaniah sebagaimana yang tersebut di atas adalah tuntutan syariat Allah, bukannya rekaan manusia. Ia adalah intisari bagi agama Samawi, telah dipraktikkan para nabi dan abid yang telah sempurna kemuncak keagungannya dalam agama Islam, bertitik tolak daripada ajaran al-Quran dan as-Sunnah.

Kehidupan rohaniah Islamiah sebagaimana yang telah digambarkan di atas itu terus berkembang di kalangan generasi Islam peringkat permulaan itu dengan keadaan bersih dan murni. Tetapi setelah Islam berkembang luas, penganut bertambah ramai terdiri daripada pelbagai bangsa yang selama ini telah mempunyai kepercayaan, amalan, adat istiadat, kebudayaan dan cara hidup yang tersendiri, mulailah kehidupan itu bercampur dengan pelbagai unsur. Ada yang bersifat falsafah, kebudayaan, kepercayaan dan sebagainya. Unsur-unsur itu telah memberi kesan dan pengaruh yang besar kepada kehidupan orang-orang Islam. Antara unsur itu ada yang sesuai dengan Islam dan ada pula yang menyeleweng.

Oleh yang demikian apabila hendak melibatkan diri dalam kehidupan rohaniah, kita kenalah berhati-hati memilih guru atau syeikh mursyid yang muktabar agar kita tidak terjerumus dalam ajaran sesat yang bertopengkan ilmu tasawuf. Perlu diingat sejak zaman-zaman kebelakangan ini, terdapat banyak ajaran sesat berkembang di dalam masyarakat kita yang dibawa oleh orang-orang jahil yang mendakwa diri mereka sebagai ahli tasawuf padahal mereka bukan ahli tasawuf.

Ibadat Rasulullah SAW

Dalam huraian di atas dinyatakan bahawa kehidupan Rasulullah merupakan contoh teladan bagi para sahabat dan kemudiannya diikuti pula oleh generasi yang kemudian Rasulullah SAW dalam kehidupannya telah melaksanakan kedua-dua tuntutan, duniawi dan ukhrawi. Baginda tidak meninggalkan dunia kerana menumpukan amal ibadat untuk hidup akhirat. Beliau adalah sebagai panglima perang, ketua negara yang berkecimpung dalam masyarakat kerana membina ummah, sebagai suami dan sebagai ayah yang bertanggungjawab membina keluarga dan rumahtangga bahagia. Dalam kesibukan menjalankan tugas dan tanggungjawab tersebut, baginda juga merupakan seorang abid yang tekun menunaikan ibadat, bangun menunaikan solat tahajud dan membaca Al-Quran setiap malam, beristighfar kepada Allah sekurang-kurangnya 70 kali atau 100 kali setiap hari.9

Baginda menunaikan solat fardu berjemaah di masjidnya. Ditambah pula dengan sunat rawatibnya, lapan rakaat ditunaikan solat dhuha setiap hari. Solat ditunaikan dengan khusyuk, penuh sempurna memakan masa yang panjang, malah meliputi dua pertiga malam menunaikan solat. Auf bin Malik menceritakan: âPada suatu malam saya bersama Rasulullah SAW. Baginda bangun lalu bersugi. Selepas itu baginda menunaikan solat. Saya bangun besertanya. Baginda menunaikan solat dengan membaca surah Al-Baqarah. Bila bertemu ayat rahmat, baginda berhenti lalu berdoa. Bila bertemu ayat azab, ia berhenti lalu memohon perlindungan. Kemudian barulah rukuk. Lama sekali rukuknya itu. Dalam rukuknya itu baginda membaca:

سبحا٠ذ٠اÙÙÙÙÙت ÙاÙعظÙØ© ÙاÙجبرÙت

âMaha suci Tuhan Yang mempunyai kerajaan dan keagungan serta kekuatan.â

Kemudian bangun dan sujud, dibacanya yang demikian. Pada rakaat yang kedua dibacanya surah Ali Imran, kemudian dibacanya surah demi surah dilakukannya seperti itu juga.10

Mengambarkan keadaan ibadat Rasulullah SAW, Ummu Muâminin Saiyidatina Aisyah menerangkan bahawa baginda menunaikan solat malam sampai bengkak kedua kakinya. Lantaran itu Aisyah RA berkata: âWahai Rasulullah! Kerana apa lagi tuan lakukan sampai begini, sedangkan Allah telah mengampuni dosa tuan yang telah lalu mahupun yang akan datang?â Jawab baginda: âTidakkah baik aku menjadi seorang hamba yang penuh bersyukur?â11

Rasulullah SAW sering menangis takutkan Allah. Sensitiviti hatinya begitu terasa dan tajam. Justeru itu apabila berdoa kepada Allah baginda sering menggeletar, menadah tangan dengan penuh khusyuk dan tadarruk terutamanya pada malam-malam hari selepas menunaikan solat pada waktu sahur, pada waktu pagi dan juga pada waktu petang. Baginda pernah bersabda maksudnya: âDemi Allah, jika kamu mengetahui apa yang aku ketahui, tentulah kamu berebut-rebut hendak pergi ke kubur.â

Ataâ menceritakan bahawa beliau dan Ubaid bin Umair pernah pergi ke rumah Aisyah RA bertanyakan hal-hal yang menakjubkan pada Rasulullah SAW. Aisyah yang berada di balik tabir itu tiba-tiba menangis sambil berkata: âPerkara-perkara yang berlaku pada Rasulullah SAW semuanya menakjubkan. Pada satu malam giliran saya, baginda datang menghampiri saya sehingga bersentuhan kulit. Baginda bersabda: aku hendak menumpukan ibadat kepada Tuhanku, Allah Taalaâ. Baginda pun pergi ke tempat air mengambil wuduk. Baginda berdiri menunaikan solat. Kemudian menangis sehingga basah janggutnya. Kemudian sujud. Selepas itu baginda terbaring di atas lambungnya. Kemudian datang Bilal kerana azan Subuh. Bilal bertanya: âApa sebab tuan menangis sedangkan Allah telah mengampuni dosa tuan yang lalu dan yang akan datang?â Jawab baginda: âWahai Bilal, betapa tidak aku menangis kerana pada malam ini Allah telah menurunkan ayat:

âSesungguhnya dalam kejadian langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.â (Ali Imran: 190)

Kemudian baginda bersabda: âCelakalah bagi mereka yang membaca ayat ini, tetapi tidak memikirkan tentangnya.â12

Dalam penumpuan rohaniah ini, pernah terjadi Rasulullah SAW putus hubungan dengan alam nyata ini, terputus dengan keadaan sekelililngnya walaupun tubuh kasarnya berada di alam nyata ini. Pada suatu ketika baginda berada seorang diri, tiba-tiba Aisyah isterinya masuk ke tempat baginda. Bila baginda sedar Aisyah masuk terus bertanya:


âSiapa engkau?â

âSaya Aisyah.â Jawab Aisyah.

âSiapa Aisyah?â Tanya baginda lagi.

âAisyah anak al-Siddiq.â

âSiapa al-Siddiq itu?â

âMentua Muhammad,â tegas Aisyah.

Ketika baginda bertanya: âSiapa Muhammad?â Aisyah tidak berkata apa-apa kerana dia sudah mengetahui, Nabi SAW sedang berada dalam keadaan yang luar biasa, lebih ke alam rohani daripada alam maddi. Jika riwayat ini sahih, kata Muhammad Mustafa Hilmi, suasana rohaniah yang luar biasa juga boleh berlaku pada orang-orang yang sufi.13

Dalam melaksanakan tuntutan rohaniah ini, seseorang itu jangan sampai mengabaikan tanggungjawab terhadap tuntutan jasmaniah dirinya. Kedua-duanya hendaklah dilaksanakan, sama-sama diberi perhatian yang sebaik-baiknya. Pada zaman Rasulullah SAW pernah tiga orang sahabat datang ke rumah isteri-isteri Rasulullah SAW bertanyakan tentang ibadat baginda. Setelah mereka diberitahu, mereka merasakan bahawa ibadat tersebut masih terlalu sedikit. Lalu mereka pun berkata: â Di manlah kita ini jika dibandingkan dengan Rasulullah SAW sedangkan baginda diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang?â salah seorang daripada mereka berkata: âTentang saya, saya akan solat malam selama-lamanya.â Yang kedua berkata: âsaya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka.â Yang ketiga pula berkata: âsaya akan menjauhkan diri daripada perempuan dan tidak akan kahwin selama-lamanya.â Apabila Raulullah SAW bertemu mereka, baginda bertanya: âKamukah yang berkata begini, begini? Sesungguhnya demi Allah, saya adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada-Nya, tetapi saya berpuasa dan berbuka. Saya mendirikan solat dan tidur dan saya juga berkahwin. Sesiapa yang tidak sukakan sunnahku, dia bukan daripada golonganku.â (Riwayat Al-Bukhari)

Ramai para sahabat melaksanakan tuntutan rohaniah dengan memperbanyakkan ibadat kepada Allah. Sikap ini pula dicontohi oleh generasi tabiâin. dalam perkembangan rohaniah Islam ini, semua tatahidup para sahabat itu dapat dianggap sebagia benih pertama yang kemudiannya tumbuh dan berkembang merendang mengeluarkan buah-buahan yang lazat rasanya, dinikmati dalam kehidupan para tabiâin dan generasi-generasi kemudian yang mengutamakan agama dalam hidup dunia ini.

Dalam peringkat permulaan ini, istilah âtasawwufâ dan âsufiâ belum lagi wujud dalam sejarah umat Islam. Ia mula dikenali pada kurun ke-2 Hijrah. Orang-orang yang mula-mula sekali dipanggil sufi ialah Abu Hasyim al-Kufi yang meninggalkan dunia pada tahun 162.

Perkembangan Kehidupan Rohaniah

Kehidupan rohaniah Islamiah yang bermula dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang tersebut dalam bahagian yang lepas, dicontohi dan diamalkan oleh para sahabat dalam kehidupan mereka. Sebagaimana Nabi turun ke medan perang berjihad menegakkan agama Allah, para sahabat dan generasi yang kemudiannya juga turut melaksanakan tuntutan tersebut. Akhirnya mereka berjaya menegakkan pemerintahan Islam, mengalahkan dua kerajaan besar pada masa itu iaitu Rom dan Parsi. Di samping meneruskan jihad di medan perang, mereka juga meneruskan jihad al-nafs, melawan hawa nafsu dan godaan syaitan.

Sejarah menunjukkan sikap hidup yang bersepadu, yang dipelopori Rasulullah SAW dan para rasul yang terdahulu itu, dalam kehidupan sahabat-sahabat besar baginda, Abu Bakr, Umar, Uthman dan Ali. Sahabat-sahabat utama seperti Bilal Al-Habsyi, Salman Al-Farisi, Suhaib Al-Rumi, Ubai Ibn Kaâab, Tamim Al-Dari, Abu Dzar Al-Ghiffari, Huzaifah Ibn al-Yaman, Musâab ibn Umair dan ramai lagi sahabat lain turut mempraktikkan sistem hidup Rasulullah SAW itu. Mereka menumpukan amal ibadat (taabud), bersikap zuhud (tazahhud), hidup taqasysyuf (hidup secara kasar), mujahad al-nafs dan sebagainya.14

Semuanya tatahidup mereka itu merupakan benih pertama rohaniah yang kemudiannya tumbuh dan berkembang membina institusi kehidupan rohaniah yang besar, menerbitkan buah-buahan yang lazat, dinikmati dalam kehidupan para tabiâin dan generasi yang kemudiannya.

Dalam kurun pertama hijrah ini, istilah sufi dan tasawwuf belum lagi dikenal dalam sejarah kehidupan rohaniah Islamiah. Dalam peringkat ini ahli-ahli ibadat dipanggil dengan berbagai-bagai gelaran. Antaranya ialah:

Nussak: Kata jamak bagi perkataan nasik iaitu orang-orang yang memberi penumpuan untuk beribadat kepada Allah.

Ubbad: Kata jamak bagi perkataan abid iaitu orang-orang yang banyak beribadat, mengabdikan diri semata-mata kepada Allah.

Zuhhad: Kata jamak bagi perkatan zahid yang diambil daripada perkataan zuhud iaitu orang-orang yang tidak mementingkan dunia, harta benda, kemegahan, kebesaran dan sebagainya.

Bakkaâun: Kata jamak bagi perkataan bakkaâ yang bermaksud orang-orang yang banyak menangis kerana mengenangkan amalan ibadat kalau-kalau tidak diterima Allah atau pun kerana mengenangkan hari Akhirat.

Walaupun nama-nama ini berlainan sebutan zahirnya, tetapi semuanya membawa pengertian yang sama iaitu sangat-sangat prihatin terhadap urusan agama, sedikit perhatian terhadap dunia. Kehidupan mereka lebih banyak menunaikan ibadat, banyak berzikir, merenung, bertafakkur mengenangkan keagungan dan kekuasaan Allah, peka terhadap Allah dan penuh bertawakal kepada-Nya.

Antara tokoh rohaniah dalam peringkat ini ialah Uwais bin Amir Al-Qarani, Amir bin Abdullah bin Abd Qais al-Basri, Masyruq bin Abdurrahman al-Kufi, al-Rabiâ bin Khaitham, Haram bin Hayyan, Hasan bin Abu al-Hasan Abu Saiâd al-Basri dan lain-lain. Cara hidup mereka meninggalkan kesan yang besar dalam pertumbuhan kerohanian Islam masa-masa berikutnya.15

Dalam kurun pertama dan kedua Hijrah, peraturan-peraturan yang merupakan kaedah-kaedah umum untuk dijadikan pegangan dalam melaksanakan kehidupan rohaniah atau kaedah-kaedah yang perlu diikuti dalam menjalani latihan rohaniah belum lagi wujud dengan teratur. Malah setiap individu menjalankan kehidupan rohaniah menurut citarasa sendiri. Walaubagaimanapun, masing-masing berusaha menuju ke arah ketinggian rohaniah dan kebersihan jiwa. Ahli-ahli ibadat, nasik, zahid, dan sebagainya itu berusaha membersih dan membebaskan diri daripada gangguan-gangguan duniawi yang boleh menyekat perkembangan rohaniah seseorang itu. Matlamat mereka ialah mencapai keredaan Allah, matlamat tertinggi bagi setiap orang.

Dalam peringkat ini, golongan nussak, dan zuhhud itu secara umumnya terbahagi kepada dua aliran iaitu:

1.Aliran Kufah

2.Aliran Basrah

Kedua-dua aliran ini sangat-sangat mengambil berat tentang ilmu-ilmu Islam dengan mempelajari ilmu fekah, hadis, ilmu al-kalam dan ilmu-ilmu bahasa. Di samping kegiatan ilmiah itu, mereka juga giat menjalani latihan rohaniah, menjalani riadah hati, mujahadah al-nafs dan mengawal hawa nafsu.16

Selain daripada dua aliran yang berpusat di dua buah kota itu golongan al-zuhhad, ubbad dan nussak juga telah muncul di kawasan-kawasan lain umpamanya Khurasan di mana munculnya Ibrahim bin Adham (m. 161H) dan muridnya Syaqiq al-Balkhi (m. 194H). Kedua-duanya merupakan tokoh terkenal dalam sejarah kehidupan rohaniah Islamiah.17

Tasawwuf dan Tareqat

Daripada kegiatan rohaniah sebagaimana yang telah dijelaskan itulah kemudiannya terbentuk institusi tasawwuf. Pada permulaan abad ketiga ia telah tersebar luas dan mendapat sambutan yang baik daripada masyarakat. Baghdad, pusat pemerintahan kerajaan Abbasiyyah pada masa itu merupakan pusat kegiatan ilmiah yang begitu pesat. Kegiatan tasawwuf amat subur di kota ini. Sesuai dengan kemajuan dan pertumbuhan ilmiah itu, orang ramai kian terpaut kepada kesenangan dan kemewahan duniawi. Justeru keruntuhan akhlak mulai melanda masyarakat Islam.

Untuk menghadapi gejala-gejala negatif itu, alim ulamaâ meningkatkan kegiatan mereka, menyedarkan masyarakat, berusaha menarik mereka ke arah memperbaiki akhlak dan ketinggian budi pekerti. Kegiatan tasawwuf bertambah luas dan memegang peranan penting dalam usaha pembentukan rohaniah dan akhlak masyarakat. Baghdad sebagai pusat kegiatan tasawwuf mengatasi tempat-tempat lain. Dari Baghdad, tasawwuf terus berkembang sampai ke Parsi. Sebagaimana Baghdad, tanah Parsi juga merupakan kawasan yang subur bagi institusi tasawwuf. Pada peringkat ini tasawwuf telah berkembang sampai ke Mesir, Syam dan Jazirah Arab.

Semenjak abad ketiga, tasawwuf mulai teratur, terbentuk peraturan-peraturan, kaedah-kaedah yang tersusun sebagai satu ilmu dan istilah-istilahnya juga sudah tercipta. Masa abad ke-4 ia telah merupakan satu cabang ilmu yang telah mantap, mempunyai bidang dan pendekatannya yang tersendiri. Istilah-istilah seperti al-âIsya, al-Mahabbah, al-qurb, al-haqiqah, maqamat, ahwal dan lain-lain sudah meluas digunakan.

Institusi tasawwuf tumbuh dengan meluas di bawah bimbingan syaikh-syaikh tasawwuf yang berwibawa yang mempunyai murid yang ramai. Dari institusi inilah kemudiannya terbentuk tareqat-tareqat dengan cara dan pendekatan masing-masing. Keseimbangan antara kegiatan ilmiah dan amalan inilah yang meletakkan tasawwuf pada tahap kecemerlangan, dan inilah yang perlu kita contohi pada hari ini.

Bermula dari kurun ke 7 dan seterusnya, tareqat telah berkembang luas dan tumbuh di seluruh alam Islami. Tareqat-tareqat itu walaupun mempunyai sistem, cara dan kaedah yang berlainan antara satu sama lain, tetapi semuanya mempunyai matlamat yang sama iaitu mendekatkan diri kepada Allah, membersihkan jiwa, meningkatkan rohaniah untuk mencapai keredhaan dan maârifatullah. Hasil daripada pertumbuhan dan kegiatan sebagaimana yang tersebut itu akhirnya terbentuklah institusi tareqat yang diberi nama menurut nama shaikh masing-masing. Tareqat-tareqat muâtabar sebagaimana yang disenaraikan Abu Bakar Aceh antaranya ialah:


1. Qadiriyyah

2. Jalutiyyah

3. Usyaqiyyah

4. Syattariyyah

5. Naqsybandiyyah

6. Bakdasiyyah

7. Bakriyyah

8. âAidrusiyah

9. Syadhiliyyah

10.Ghazaliyyah

11.Bayumiyyah

12.Sunbuliyyah

13.Rifaâiyyah

14.Rumiyyah

15.Uthmaniyyah

16.Anfasiyyah

17.Dusuqiyyah

18.Jastiyyah

19.Aliyyah

20.Sammaniyyah

21.Akbariyyah

22.Syaâbaniyyah

23.Abbasiyyah

24.Sanusiyyah

25.Maulawiyyah

26.Kaisaniyyah

27.Haddadiyyah

28.Idrisiyyah

29.Kubrawiyyah

30.Hamzawiyyah

31.Maghribiyyah

32.Badawiyyah

33.Suhrawardiyyah

34.Tijaniyyah

35.Ghaibiyyah

36.Ahmadiyyah

37.Khalwatiyyah

38.Alawiyyah

39.Hadriyyah

Antara tareqat yang tersebar luas dan mempunyai pengikut atau ikhwan yang ramai di Malaysia ialah Tareqat Naqsybandiyyah dan Tareqat Ahmadiyyah. Justeru itu, ada yang tidak bertanggungjawab mengambil kesempatan bergerak sebagai kumpulan tareqat dan mendakwa kumpulannya sebagai Tareqat Naqsybandiyyah atau Tareqat Ahmadiyah pada hal sebenarnya bukanlah tareqat tersebut. Oleh itu diingatkan kepada sesiapa yang ingin mengikut mana-mana tareqat pastikan ianya tareqat yang sebenar, bukanlah tareqat tiruan yang membawa ajaran sesat.

Mengenali Syeikh Mursyid

Dalam menyelusuri khazanah sufistik ini, perlu juga kita mengetahui ciri-ciri seorang shaikh yang merupakan tonggak utama dalam institusi tareqat sufiyyah. Ini kerana di tangannya terletak teraju bagi sesebuah tareqat sama ada berada di atas landasan yang lurus ataupun sebaliknya. Masalah mursyid inilah yang perlu diberi perhatian oleh setiap orang yang ingin melibatkan dirinya dalam kegiatan rohaniah. Wujudnya ajaran-ajaran sesat yang bergerak cergas adalah berpunca daripada mursyid tiruan yang mendakwa dirinya sebagai pemimpin rohaniah, pada hal dia bukanlah mursyid menurut kriteria tareqat sufiyyah yang sebenarnya. Gerakan yang dipimpinnya itu dilabelkan dengan mana-mana sama tareqat yang muâtabar bertujuan untuk mengabui mata orang ramai, untuk meraih sokongan dan kepentingan diri sendiri. Dengan sikapnya yang tidak bertangggungjawab itu, dia telah mencemarkan ajaran-ajaran tareqat yang asli yang telah lama beroperasi dan diterima pakai dalam masyarakat alam Islami.

Untuk kebaikan peminat-peninat rohaniah, kita menyeru agar mereka berhati-hati dan berwaspada dalam memilih institusi rohaniah yang hendak disertainya itu. Seseoraang itu hendaklah lebih dahulu meneliti latar belakang institusi yang hendak diceburinya itu dan sekaligus pula cuba mengenali latar belakang pemimpinnya, apakah dia seorang yang berwibawa dalam bidang Akidah Islamiyah, bidang Syariah dan benar-benar menguasai ilmu rohaniah. Ini boleh dicapai dengan merujuk kepada alim ulamaâ dan institusiâinstitusi agama yang diakui menpunyai authoriti dalam bidang keagamaan.


Dalam peringkat ini rasanya perlu kita mengetahui apakah ciri-ciri mursyid yang layak untuk menjadi pemimpin rohaniah itu? Dalam hubungan ini al-Imam al-Ghazali menegaskan,

katanya: âSeseorang salik atau pengembara rohaniah itu memerlukan seseorang syaikh mursyid murabbi untuk mengeluarkan sifat-sifat negatif daripada salik tersebut dengan bimbingan dan didikannya, dan digantikannya dengan sifatâsifat positif.â Seterusnya kata Imam Ghazali lagi, didikan atau tarbiah itu serupalah dengan kerja peladang yang mencabut duri-duri dan mengeluarkan tumbuh-tumbuhan asing dari celahâcelah tanaman supaya ia tumbuh dengan baik dan sempurna kesuburannya. Bagi seseorang salik, kata al-Imam al-Ghazali, dia mesti syaikh yang melatih dirinya dan menunjuknya ke arah jalan Allah Taala. Ini kerana Allah Taala telah mengutus untuk hambaâhambanya seorang rasul yang bertugas memandu hamba-hambanya itu kejalan Allah; dan apabila Rasulullah SAW sudah tidak ada lagi, para Khulafaâ ar-Rasyidun pula mengambil tempatnya itu, sehingga mereka pula bertugas menunjuk orang ramai kepada jalan Allah Taala.

Syarat seorang syeikh yang layak menjadi pengganti Rasullullah SAW itu, kata Al Imam Al-Ghazali, pertamanya dia mesti seorang yang alim. Tetapi tidak semua orang alim layak menerajui kepimpinan ini. Di sini, kata Al-Imam Al-Ghazali, diterangkan secara ringkas cirinya agar tidak semua orang boleh mendakwa dirinya sebagai mursyid. Antara ciri-ciri itu ialah:

â¢Dia tidak mencintai dunia dan kemegahannya.

â¢Dia sendiri telah mengikuti bimbingan seorang mursyid yang berwibawa yang berkesinambungan sampai kepada junjungan kita penghulu rasul-rasul SAW.

â¢Beliau amat baik dalam riyadhah dirinya, tidak banyak makan, tidak banyak bercakap dan tidak banyak tidur, sebaliknya banyak mengerjakan solat, bersedekah dan puasa.

Dengan mengikut syaikh yang berwibawa seperti itu, jadilah akhlak yang baik itu sirah perjalanan hidupnya seperti bersifat sabar, mengerjakan solat, bersyukur, bertawakal, yakin, qanaâah, tenang, lemah-lembut, tawadhuâ, bersopan-santun, berhati-hati, berhemat-cermat dan sebagainya. Jadilah dia sebagai cahaya daripada cahaya-cahaya nabi SAW, dan dia layak diikuti. Tetapi wujudnya tokoh yang seperti ini jarang sekali dan lebih sukar daripada mendapati belerang merah. Walaupun bagaimanapun, kata Al-Imam Al-Ghazali, mana-mana orang yang terdorong untuk beroleh kebahagiaan, dia akan bertemu denagn shaikh yang mempunyai ciri-ciri dan kriteria sebagaimana yang tersebut itu.

Sifat-sifat mursyid yang dibentangkan al-Imam al-Ghazali itu dapat kita jadikan sebagai kayu pengukur atau neraca untuk memilih syaikh atau mursyid, atau guru rohaniah yang benar-benar boleh dipercayai dan boleh diikuti. Dengan demikian, seseorang itu akan terhindar daripada terperangkap dalam kegiatan ajaran-ajaran sesat.

PUM dan Al-Maâthurat

Salah satu misi Persatuan Ulamaâ Malaysia ialah memupuk âsyaffafiyyah ruhiyyahâ, suatu wawasan yang dilahirkan oleh Yang Dipertua PUM, al-Fadhil Ustaz Hj. Abdul Ghani Shamsudin dan telah direalisasikan sebaik sahaja beliau menerajui pucuk pimpinan PUM. Tujuannya ialah untuk meningkatkan pencapaian rohaniah terutamanya kepimpinan pusat. Untuk mencapai matlamat tersebut, setiap kali PUM mengadakan perjumpaan, baik kerana mesyuarat ataupun kerana sesuatu perbincangan yang diadakan selepas Maghrib, para ahli yang hadir mengadakan solat berjamaah diimamkan sendiri oleh Ustaz Hj. Abdul Ghani di ruang pejabat PUM. Walaupun ruang tersebut terlalu kecil untuk menampung ahli-ahli yang hadir, mereka tetap mengadakan tuntutan berjamaah, dan sebaik sahaja selesai solat, mereka beramai-ramai membaca Wazifah Sughra al-Maâthurat Imam Hasan al-Banna dengan zauq yang tidak ceria akibat gangguan suasana tempat yang tidak selesa itu dan ini mungkin sedikit sebanyak menjejaskan pencapaian syafafiyyah yang dicita-citakan itu.

Memberi penumpuan kepada kegiatan rohaniah sebenarnya merupakan program yang telah dipraktikan golongan salafussoleh dan alim ulamaâ Rabbani. Justeru, ahli-ahli PUM sudah sewajarnya meningkatkan program memupuk shaffafiyyah ruhiyyah di kalangan semua peringkat ahlinya. Untuk mencapai syaffafiyyah ruhiyyah, tentulah berkehendakkan kepada kegiatan rohaniah yang intensif, dan sebaik-baiknya Wazifah Kubra yang menjadi pilihan utama, bukannya Wazifah Sughra. Bacaan-bacaan lain yang mempunyai nilai rohaniah yang tertentu boleh ditambah bagi menggilap syaffafiyyah ruhiyyah itu.

Usaha awal bagi memupuk syafafiyyah ruhiyyah ini dapat dianggap sebagai suatu dinamo untuk menambah dan menguatkan tenaga rohaniah yang semangatnya sudah sedia ada pada setiap kepimpinan PUM. Kita percaya, masing-masing mereka mempunyai program dan agenda rohaniah yang tersendiri yang diamalkan secara iltizam. Walaupun begitu, jika diseragamkan dengan memilih al-Maâthurat sebagai induk, kita berpendapat kesan syafafiyyah ruhiyyah secara jamaâi lebih kuat mengikat dan menyatu padukan ukhuwwah Islamiyyah sesama ahli yang berada dalam satu wadah yang mempunyai matlamatnya yang tersendiri.

Bagi meluaskan program shafafiyyah ruhiyyah ini, ada baiknya jika PUM peringkat negeri juga sama-sama mempraktikan dalam kesempatan-kesempatan program yang diadakan. Malah seluruh ahli PUM juga seharusnya cuba menikmati kekuatan rohaniah yang tersirat di dalam al-Maâthurat itu. Perlu diingatkan, usaha meningkat dan menguatkan rohaniah ini merupakan suatu kewajipan bagi setiap individu, kerana ia sama penting dengan tuntutan jasmaniah yang memerlukan kepada pemakanan yang seimbang, berkhasiat dan lazat, malah ia lebih penting daraipada itu apabila dilihat dari sudut tuntutan rohaniah Islamiah sebagaimana dibuktikan golongan as-Salaf as-Salih pada zaman silam. Kepada para peserta dan juga sesiapa yang tidak dapat mempastikan untuk memilih institusi rohaniah yang muktabar, al-Maâthurat adalah pilihan yang tepat dan ia terlepas daripada perangkap ajaran sesat yang banyak terdapat dalam masyarakat kita hari ini.

Sumber Posted in Mencintai Rasulullah | No Comments »


« Older Entries

Newer Entries »


  • Recent Posts

    • Peristiwa besar islam yang terjadi pada 10 Muharram (Kisah-kisah Para Nabi)
    • Haramnya Kuis SMS
    • Bagaimana Membayar Hutang / Qadha Shalat Kita?
    • Shalat Arba’in di Masjid Nabawi
    • 18 Hal yg Membuat Dosa Diampuni
    • Pahala, musibah, penyakit, kegundahan hati sebagai penghapus dosa
    • Menyingkap Makrifat di Balik Syariat (Tanya jawab dengan Habib Lutfi bin Yahya)
    • Ucapan Selamat Datang Kiyai Khalil Bangkalan (Salah satu karomah kyai khalil)
    • Ngalap Berkah di Makam Para Wali (Tanya jawab dengan Habib Lutfi bin Yahya)
    • Amalan Shalawat (Tanya jawab dengan Habib Lutfi bin Yahya)
    • Thariqat Alawiyyah dan Istiqomah (Tanya jawab dengan Habib Lutfi bin Yahya)
    • Minta Nama Untuk Anak (Tanya jawab dengan Habib Lutfi bin Yahya)
    • Adab Menuliskan Nama Nabi SAW (Tanya jawab dengan Habib Lutfi bin Yahya)
    • Mengatasi Keraguan dalam Ibadah (Tanya jawab dengan Habib Lutfi bin Yahya)
    • Membersihkan Hati (Tanya jawab dengan Habib Lutfi bin Yahya)



Cinta Ahlul Bait is proudly powered by WordPress MU running on Blogdetik.com. Create a new blog and join in the fun!

Entries (RSS) and Comments (RSS).

  • Blogdetik.com
  • Daftar Blog